ANTROPOLOGI
MUSIK
Antropologi Musik merupakan dua
disiplin ilmu yang saling berkorelasi antara “Antropologi” dengan “Musikologi”.
Kedua disiplin ilmu ini sering digunakan oleh para etnomusikolog untuk mengkaji
kesenian (musik) yang ada disuatu ranah sosial. Hal ini membuat ilmu
Etnomusikologi memiliki perspektif yang cukup banyak tetapi tetap memiliki
relasi yang saling terikat. Sebelum memaparkan tentang Antropologi Musik lebih
jauh, ada baiknya memisahkan dua kata menjadi “Antropologi” dengan “Musik”. Hal
ini bertujuan untuk melihat lebih jelas definisi dari dua kata tersebut
sehingga teks dan konteks dari Antropologi Musik menjadi lebih jelas dan tidak
ambigu.
1. ANTROPOLOGI
Antropologi merupakan kata yang berasal dari Bahasa Yunani,
yaitu “anthropos” yang artinya “manusia” dan “logy” atau “logos” yang
berarti “ilmu”. Secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa Antropologi
merupakan ilmu yang mempelajari tentang aspek manusia.[1]
Secara implisit, Antropologi merupakan ilmu tentang manusia.
1.1 Fase-fase Perkembangan Ilmu Antropologi
Ilmu
Antropologi memliki empat fase dalam perkembangannya. Menurut Koentjaraningrat
dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi disebutkan fase-fase perkembangan Ilmu
Antropologi, yaitu: Fase Pertama (sebelum tahun 1800), Fase Kedua (pertengahan
abad ke-19), Fase Ketiga (permulaan abad ke-20), dan Fase Keempat (sesudah
tahun 1930).[2]
1.1.1 Fase Pertama (sebelum tahun 1800)
Fase pertama melihat perkembangan Ilmu
Antropologi dari kedatangan bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika, Asia, dan
Amerika sekitar akhir abad 15 hingga permulaan abad 16. Bangsa Eropa Barat
dating ketiga benua dan menulis hal-hal yang menurut mereka asing pada negara
yang mereka kunjungi. Banyak catatan (bahan deskripsi yang disebut “etnografi”
dari kata “ethos” yang artinya
“bangsa”) terkumpul, ditulis oleh
para musafir, pelaut, pendeta (misionaris) agama Nasrani, dan penerjemah
perjalanan).
Catatan
deskripsi dikumpulkan oleh para kaum terpelajar. Pandangan para kaum terpelajar
di Eropa Barat dalam mengkaji bahan deskripsi yang telah ada, menghasilkan tiga
sikap yaitu: (1) Bangsa-bangsa selain Eropa bukan manusia sebenarnya, melainkan
mereka manusia liar, keturunan iblis (muncul istilah primitives, savages), (2) Ada pendapat bahwa bangsa-bangsa itu
merupakan contoh dari masyarakat yang
masih murni (belum mengenal baik-buruk), dan (3) Ada yang tertarik dengan
adat-istiadat dari suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Osenia (kepulauan di Laut
Teduh), dan Amerika pribumi. Ketertarikan inilah yang menyebabkan mereka
membawa benda-benda kebudayaan dan mendirikan museum.[3]
1.1.2 Fase Kedua (Pertengahan Abad ke-19)
Ketertarikan
terhadap bangsa diluar Eropa menghasilkan para peneliti dan kaum terpelajar mengintegrasikan
seluruh bahan etnograafi menjadi satu. Anggapan mengenai bangsa-bangsa selain
Eropa merupakan bangsa yang primitive yang merupakan sisa-sisa dan contoh dari
kebudayaan kuno. Hal ini membuat orang-orang Eropa mempelajajari kebuadayaan di
luar Eropa untuk menambah pengetahuan sejarah, maka muncul Ilmu Antropologi.
Tujuan Ilmu Antropologi pada fase kedua adalah mempelajari manusia dan
kebudayaan primitive untuk mendapatkan pengertian dari tingkatan kuno dalam
sejarah evolusi dan sejarah perkembangan kebudayaan manusia.[4]
1.1.3 Fase Ketiga (Permulaan Abad ke-20)
Penjajah
dari Eropa mencapai puncak kekuasaan di daerah-daerah jajahannya. Ilmu
Antropologi berperan penting untuk mempelajari bangsa-bangsa jajahannya. Tujuan
iIlmu Antropologi pada fase ketiga adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan
dari suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepantingan dari pemerintah colonial
dan mendapatkan pengertian tentang masyarakat yang komplek.[5]
1.1.4
Fase
Keempat (sesudah tahun 1930)
Perkembangan
Ilmu Antropologi menjadi luas, hal ini disebabkan karena konteks meneliti oleh
para antropolog sudah sedikit. Hal ini disebabkan karena muncul antipasti
terhadap kolonialisme sesudah Perang Dunia II dan hilangnya bangsa-bangsa
primitive. Tujuan ilmu Anropologi pada fase keempat ada dua, yaitu secara
akademis dan praktis. Tujuan akademisnya yaitu mempelajari manusia dari
keragaman fisik, masyarakat, dan kebudayaan. Tujuan praktisnya yaitu
mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat pada suatu suku bangsa dengan
tujuan membangun masyarakat suku bangsa tersebut.[6]
Perkembangan Ilmu Antropologi terus
meningkat menghasilkan cabang-cabang dari ilmu tersebut. Perkembangan Ilmu
Antropologi menjadi beberapa spesialis yaitu Antropologi Fisik dan Antropologi
Budaya. Antropologi Budaya terbagi llebih spesifik, yaitu: (1) Arkeologi
(bagian Antropologi yang mempelajari budaya yang telah sirna), (2) Etnografi
(pelukisan tentang bangsa-bangsa, (3) Entologi (ilmu tentang bangsa-bangsa),
dan (4) Antropologi Lingustik.[7]
Antropologi
Musik termasuk dalam spesialisasi Antropologi Budaya. Hal ini dapat dilihat
dari unsur
kebudayaan yaitu bahasa, ilmu pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem
ekonomi, sistem teknologi, sistem religi, dan kesenian.[8]
2. MUSIK
Kata “Musik” sering digunakan dalam ranah sosial dan akademik.
Kata “Musik” itu sendiri merupakan cabang seni yang membahas dan menetapkan
berbagai suara ke dalam pola-pola yang dapat dimengerti.[9]
Banyak filusuf yang mendefinisikan kata musik menurut persepektif yang berbeda.
Filsuf terkenal salah satunya Pythagoras, ia mendefinikan music merupakan suatu
bidang dimana matematika tidak dapat lepas darinya.[10]
Konsep ini muncul ketika Pythagoras menganalogikan ilmu matematika pada
perbandingan panjang-pendek senar.
Musik itu sendiri memiliki tiga unsur, yaitu (1) Melodi, merupakan
rangkaian tinggi-rendah nada yang terangkai menjadi sebuah lagu, (2) Ritme,
merupakan derap atau langkah yang teratur, dan (3) Harmoni, merupakan
keselarasan antara melodi dengan ritme.[11]
Jadi dapat ditarik benang merah bahwa musik merupakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan nada. Unsur-unsur dari nada, yaitu: (1) Pitch, merupakan tinggi-rendahnya nada,
(2) Duration, merupakan
panjang-pendeknya nada, (3) Intensity,
merupakan keras-lembutnya nada, dan (4) Timbre,
merupakan warna nada.[12]
Musik berkaitan dengan instrument atau alat music. Macam-macam alat musik
secara umum, yaitu: (1) Dawai - intrumen gesek (viola, violin, Cello, Contra
Bass), petik (Gitar, Kecapi, Sape, Gambus), dan pukul dawai (Piano,
Clavichord), (2) Getaran Kolom Udara – Woodwind
(alat music tiup kayu seperti Hule, Picollo, Saxophone), Kuningan (Trompet,
Trombon, Tuba), dan (3) Batangan, Piringan selaput atau Perkusi – Bernada
(Gong, Marimba, Gamelan, Marimba, Timpani), Tidak Bernada (Triangel, Tamborin).[13]
3.
PENGANTAR
ANTROPOLOGI MUSIK
Dekripsi mengenai
Antopologi dan Musik telah dipaparkan diatas, dapat ditarik benang merah bahwa Antropologi Musik merupakan
studi yang mempelajari kesenian (musik) yang ada dalam suatu suku dan bangsa.
Setiap suku dan bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda , hal ini
menyebabkan kesenian (musik) setiap suku berbeda-beda. Perbedaan kesenian pada
setiap suku juga bisa dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (letak geografis).
Contoh: keadaan lingkungan suatu suku mempengaruhi instrumen musiknya. Contoh:
Kalimantan yang kaya akan kayunya, mengahsilkan banyak instrument musik yang
terbuat dari kayu (salah satunya sape). Daerah Jawa Barat yang kaya akan bambu,
menghasilkan instrument yang terbuat dari bambu (salah satunya angklung). Jadi
Antropologi Musik merupakan ilmu yang mempelajari karya manusia dalam bentuk
musik (kebudayaan) pada suatu suku atau bangsa.
[1]Nur
Syam, Madzhab-madzhab Antropologi (Bantul:
LKiS Yogyakarta, 2007), 2-3.
[2]Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta:
Rineka Cipta, 2009), 1-4.
[3]Koentjaraningrat, 1-2.
[8]Koentjaraningrat,
165.
[10]Sukamti
Susasintina, Nada-nada Radikal:
Pembicaraan Para Filusuf Tentang Musik (Yogyakarta: Panta Rhei Books,
2004), 121.
[11]Hendro, Panduan Praktis Berimprovisasi Piano Rock dan Blues,Cetakan ke-2 (Jakarta: Puspa Swara, 2007), 2.
[12]Hanna
Sri Mudjilah, Teori Musik I, Diktat
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negri Yogyakarta, 2010, 1.
[13]Catatan
kuliah, pada tanggal 21 September 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar