Selasa, 24 Februari 2015

Antropologi Musik

ANTROPOLOGI
MUSIK

         
Antropologi Musik merupakan dua disiplin ilmu yang saling berkorelasi antara “Antropologi” dengan “Musikologi”. Kedua disiplin ilmu ini sering digunakan oleh para etnomusikolog untuk mengkaji kesenian (musik) yang ada disuatu ranah sosial. Hal ini membuat ilmu Etnomusikologi memiliki perspektif yang cukup banyak tetapi tetap memiliki relasi yang saling terikat. Sebelum memaparkan tentang Antropologi Musik lebih jauh, ada baiknya memisahkan dua kata menjadi “Antropologi” dengan “Musik”. Hal ini bertujuan untuk melihat lebih jelas definisi dari dua kata tersebut sehingga teks dan konteks dari Antropologi Musik menjadi lebih jelas dan tidak ambigu.
1.   ANTROPOLOGI
Antropologi merupakan kata yang berasal dari Bahasa Yunani, yaitu  “anthropos” yang artinya “manusia” dan “logy” atau “logos” yang berarti “ilmu”. Secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang aspek manusia.[1] Secara implisit, Antropologi merupakan ilmu tentang manusia.
1.1 Fase-fase Perkembangan Ilmu Antropologi
Ilmu Antropologi memliki empat fase dalam perkembangannya. Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi disebutkan fase-fase perkembangan Ilmu Antropologi, yaitu: Fase Pertama (sebelum tahun 1800), Fase Kedua (pertengahan abad ke-19), Fase Ketiga (permulaan abad ke-20), dan Fase Keempat (sesudah tahun 1930).[2]
1.1.1   Fase Pertama (sebelum tahun 1800)
Fase pertama melihat perkembangan Ilmu Antropologi dari kedatangan bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika, Asia, dan Amerika sekitar akhir abad 15 hingga permulaan abad 16. Bangsa Eropa Barat dating ketiga benua dan menulis hal-hal yang menurut mereka asing pada negara yang mereka kunjungi. Banyak catatan (bahan deskripsi yang disebut “etnografi” dari kata “ethos” yang artinya “bangsa”) terkumpul, ditulis oleh para musafir, pelaut, pendeta (misionaris) agama Nasrani, dan penerjemah perjalanan).
Catatan deskripsi dikumpulkan oleh para kaum terpelajar. Pandangan para kaum terpelajar di Eropa Barat dalam mengkaji bahan deskripsi yang telah ada, menghasilkan tiga sikap yaitu: (1) Bangsa-bangsa selain Eropa bukan manusia sebenarnya, melainkan mereka manusia liar, keturunan iblis (muncul istilah primitives, savages), (2) Ada pendapat bahwa bangsa-bangsa itu merupakan contoh  dari masyarakat yang masih murni (belum mengenal baik-buruk), dan (3) Ada yang tertarik dengan adat-istiadat dari suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Osenia (kepulauan di Laut Teduh), dan Amerika pribumi. Ketertarikan inilah yang menyebabkan mereka membawa benda-benda kebudayaan dan mendirikan museum.[3]
1.1.2   Fase Kedua (Pertengahan Abad ke-19)
Ketertarikan terhadap bangsa diluar Eropa menghasilkan para peneliti dan kaum terpelajar mengintegrasikan seluruh bahan etnograafi menjadi satu. Anggapan mengenai bangsa-bangsa selain Eropa merupakan bangsa yang primitive yang merupakan sisa-sisa dan contoh dari kebudayaan kuno. Hal ini membuat orang-orang Eropa mempelajajari kebuadayaan di luar Eropa untuk menambah pengetahuan sejarah, maka muncul Ilmu Antropologi. Tujuan Ilmu Antropologi pada fase kedua adalah mempelajari manusia dan kebudayaan primitive untuk mendapatkan pengertian dari tingkatan kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah perkembangan kebudayaan manusia.[4]
1.1.3   Fase Ketiga (Permulaan Abad ke-20)
Penjajah dari Eropa mencapai puncak kekuasaan di daerah-daerah jajahannya. Ilmu Antropologi berperan penting untuk mempelajari bangsa-bangsa jajahannya. Tujuan iIlmu Antropologi pada fase ketiga adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan dari suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepantingan dari pemerintah colonial dan mendapatkan pengertian tentang masyarakat yang komplek.[5]
1.1.4   Fase Keempat (sesudah tahun 1930)
          Perkembangan Ilmu Antropologi menjadi luas, hal ini disebabkan karena konteks meneliti oleh para antropolog sudah sedikit. Hal ini disebabkan karena muncul antipasti terhadap kolonialisme sesudah Perang Dunia II dan hilangnya bangsa-bangsa primitive. Tujuan ilmu Anropologi pada fase keempat ada dua, yaitu secara akademis dan praktis. Tujuan akademisnya yaitu mempelajari manusia dari keragaman fisik, masyarakat, dan kebudayaan. Tujuan praktisnya yaitu mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat pada suatu suku bangsa dengan tujuan membangun masyarakat suku bangsa tersebut.[6]
          Perkembangan Ilmu Antropologi terus meningkat menghasilkan cabang-cabang dari ilmu tersebut. Perkembangan Ilmu Antropologi menjadi beberapa spesialis yaitu Antropologi Fisik dan Antropologi Budaya. Antropologi Budaya terbagi llebih spesifik, yaitu: (1) Arkeologi (bagian Antropologi yang mempelajari budaya yang telah sirna), (2) Etnografi (pelukisan tentang bangsa-bangsa, (3) Entologi (ilmu tentang bangsa-bangsa), dan (4) Antropologi Lingustik.[7]
          Antropologi Musik termasuk dalam spesialisasi Antropologi Budaya. Hal ini dapat dilihat dari unsur kebudayaan yaitu bahasa, ilmu pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem religi, dan kesenian.[8]
2.   MUSIK
Kata “Musik” sering digunakan dalam ranah sosial dan akademik. Kata “Musik” itu sendiri merupakan cabang seni yang membahas dan menetapkan berbagai suara ke dalam pola-pola yang dapat dimengerti.[9] Banyak filusuf yang mendefinisikan kata musik menurut persepektif yang berbeda. Filsuf terkenal salah satunya Pythagoras, ia mendefinikan music merupakan suatu bidang dimana matematika tidak dapat lepas darinya.[10] Konsep ini muncul ketika Pythagoras menganalogikan ilmu matematika pada perbandingan panjang-pendek senar.
Musik itu sendiri memiliki tiga unsur, yaitu (1) Melodi, merupakan rangkaian tinggi-rendah nada yang terangkai menjadi sebuah lagu, (2) Ritme, merupakan derap atau langkah yang teratur, dan (3) Harmoni, merupakan keselarasan antara melodi dengan ritme.[11]
          Jadi dapat ditarik benang merah bahwa musik merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan nada. Unsur-unsur dari nada, yaitu: (1) Pitch, merupakan tinggi-rendahnya nada, (2) Duration, merupakan panjang-pendeknya nada, (3) Intensity, merupakan keras-lembutnya nada, dan (4) Timbre, merupakan warna nada.[12] Musik berkaitan dengan instrument atau alat music. Macam-macam alat musik secara umum, yaitu: (1) Dawai - intrumen gesek (viola, violin, Cello, Contra Bass), petik (Gitar, Kecapi, Sape, Gambus), dan pukul dawai (Piano, Clavichord), (2) Getaran Kolom Udara – Woodwind (alat music tiup kayu seperti Hule, Picollo, Saxophone), Kuningan (Trompet, Trombon, Tuba), dan (3) Batangan, Piringan selaput atau Perkusi – Bernada (Gong, Marimba, Gamelan, Marimba, Timpani), Tidak Bernada (Triangel, Tamborin).[13]

3.   PENGANTAR ANTROPOLOGI MUSIK

Dekripsi mengenai Antopologi dan Musik telah dipaparkan diatas, dapat ditarik benang merah bahwa Antropologi Musik merupakan studi yang mempelajari kesenian (musik) yang ada dalam suatu suku dan bangsa. Setiap suku dan bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda , hal ini menyebabkan kesenian (musik) setiap suku berbeda-beda. Perbedaan kesenian pada setiap suku juga bisa dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (letak geografis). Contoh: keadaan lingkungan suatu suku mempengaruhi instrumen musiknya. Contoh: Kalimantan yang kaya akan kayunya, mengahsilkan banyak instrument musik yang terbuat dari kayu (salah satunya sape). Daerah Jawa Barat yang kaya akan bambu, menghasilkan instrument yang terbuat dari bambu (salah satunya angklung). Jadi Antropologi Musik merupakan ilmu yang mempelajari karya manusia dalam bentuk musik (kebudayaan) pada suatu suku atau bangsa.


[1]Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi (Bantul: LKiS Yogyakarta, 2007), 2-3.
[2]Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 1-4.
[3]Koentjaraningrat, 1-2.
[4]Koentjaraningrat, 3
[5]Koentjaraningrat, 4.
[6]Koentjaraningrat, 5.
[7]T. O. Ihromi (ed), Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), ix.
[8]Koentjaraningrat, 165.
[9]Pono Banoe, Kamus Musik (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 288.
[10]Sukamti Susasintina, Nada-nada Radikal: Pembicaraan Para Filusuf Tentang Musik (Yogyakarta: Panta Rhei Books, 2004), 121.  
[11]Hendro, Panduan Praktis Berimprovisasi Piano Rock dan Blues,Cetakan ke-2 (Jakarta: Puspa Swara, 2007), 2.
[12]Hanna Sri Mudjilah, Teori Musik I, Diktat Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negri Yogyakarta, 2010, 1.
[13]Catatan kuliah, pada tanggal 21 September 2007. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar