Kamis, 08 Februari 2018


BAB I
MENGENAL DAN MEMAHAMI
HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL


            Manusia merupakan makhluk sempurna yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini terbuktik bahwa manusia memiliki akal bukan sekedar otak. Sebelum pembahasan lebih jauh, penulis akan menjabarkan secara singkat devinisi dari: (1) Hak, devinisinya yaitu milik, kepunyaan, kewenangan[1]; (2) Intelektual, artinya yaitu yang memiliki kecerdasan tinggi, kaum terpelajar[2]. Kedua definisi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai HaKI yaitu kewenangan atas sesuatu yang dimiliki oleh sesorang yang dihasilkan dari kecerdasan yang dimiliki orang tersebut. Definisi lain dari HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari kreativitas intektual.[3]
            HaKI itu sendiri secara implisit membahasa mengenai hasil karya yang dihasilkan atau dibuat oleh sesorang. Perkembangan zaman membuat orang terus melakukan inovasi untuk memenuhi kebutuhannya. Banyak orang yang menciptakan barang guna menyejahtrakan kehidupan. Contoh: dibidang transportasi, perkembangannya semakin meningkat. Hal ini dapat terlihat dari kendaraan yang ada di jalan raya. Berawal dari alat transportasi yang masih menggunakan hewan, kini berkembang ke kendaraan bermotor. Banyak model motor dan mobil yang sering berlalu-lalang di jalan raya. Merek, bentuk, dan logo kendaraan tersebut berbeda-beda. Hal ini karena setiap motor dan mobil sudah dipatenkan dari mesin sampai bodynya. Barang atau produk yang diciptakan memiliki dua hak, yaitu (1) hak ekonomis, yaitu hak untuk mendapatkan manfaan ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait; dan (2) hak moral, yaitu hak yang melekat pada diri si pencipta yang tidak dapat dihilangkan tanpa alasan apa pun, walaupun hak cipta telah dialihkan.[4] Pencipta memiliki kuasa atas hasil ciptaannya dan hal ini dilindungi oleh undang-undang.
            Kuasa penuh atas penemu atau pencipta barang tersebut. Hal inilah yang membuat HaKi menjadi sebuah hak privat. Hak privat artinya bahwa HaKI hanya dimiliki oleh seseorang atau suatu badan hukum secara eksekutif.[5] Secara tidak langsung, orang atau badan hukum tersebut memiliki power yang kuat untuk mengontrol dan memperbanyak hasil ciptaannya. Jika ada orang atau badan hukum yang meniru barang tersebut, maka akan kena pidana berupa hukuman atau denda uang.
            HaKI diatur oleh undang-undang yang mengikat setiap masyarakat Indonesia dalam membuat dan menciptakan sesuatu. Undang-undang yang mengatur menganai hak cipta sudah ada sejak zaman pemerintahan Belanda. Hal ini dikemukakan oleh Muhamad Firmansyah, ia mengemukakan:
Peraturan perundang-udangan di bidang hak kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia mulai ada pada dekade 1980-an, yakni ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, UU Merek pada tahun 1885, UU Paten pada tahun 1910, dan UU Hak Cipta pada tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indie…Pada zaman pendudukan Jepang (1942 – 1945), semua peraturan perundang di bidaang HKI masih berlaku.[6]

Pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa Indonesia pada saat masih bernama Netherlands East-Indie, telah mengenal mengenai undang-undang yang membahas mengenai hak merek, paten, dan cipta sekitar tahun 1844 sampai 1912. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia tidak awam mengenai undang-undang mengenai HaKI.
HaKI itu sendiri memiliki banyak point-point yang saling berkesinambungan. HaKI dibagi menjadi dua, yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri (paten, merek, desain industri, DTLST, rahasia dagang, dan perlindungan verietas tanaman.[7] Pada bab berikutnya, penulis akan menjelaskan secara rinci dan singkat sub-sub pada HaKI yang berhubungan dengan karya musik maupun instrument dalam ranah etnomusikologi.


DAFTAR PUSTAKA


Firmansyah, Muhamad. Tata Cara Mengurus HaKI: Hal atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Visi Media. 2008.
Muda, Ahmad A.K. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Reality Publisher. 2006.
Nurachmad, Much. Segala Tentang HAKI Indonesia. Jogjakarta: Buku Biru. 2012.


[1]Ahmad A.K. Muda, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Reality Publisher, 2006), 247.
[2]Muda, 270.
[3]Much. Nurachmad, Segala Tentang HAKI Indonesia (Jogjakarta: Buku Biru, 2012), 15.
[4]Ibid.
[5]Ibdi, 16.
[6]Muhamad Firmansyah, Tata Cara Mengurus HaKI: Hal atas Kekayaan Intelektual (Jakarta: Visi Media, 2008), 1-2.
[7]Nurachmad, 22.


Sabtu, 14 Oktober 2017

Esensi Pelayanan

ESENSI PELAYANAN

            Banyak orang rindu melayani Tuhan di gereja, seperti menjadi pemusik, worship leader, dan singer. Hal ini tidak terlepas dari kerinduan dan talenta yang Tuhan berikan ke setiap individu. Pembahasan mengenai materi ini dimaksudkan untuk menjawab keresahan dari praktik-praktik yang bersifat teologis disekitar persoalan pelayanan. Pelayanan itu sendiri sebetulnya tidak memiliki hirarki. Hal ini dikarenakan semua pelayanan itu sama saja dimata Tuhan, tidak ada yang biasa saja atau amat sangat luar biasa. Kedudukan pemusik di gereja dengan worship leader, bahkan dengan pengkotbah (orang yang memberikan firman di gereja) sama saja di mata Tuhan karena tugas dari pelayan adalah sama yaitu melakukan perintah tuannya. Realitanya, masyarakat gereja terkonstruk pada pola hirarki yang semu. Pelayan Tuhan tidak lagi melayani tuannya (Tuhan Yesus) tetapi menjadi alat yang digunakan oleh para pemimpin untuk memajukan gereja. “Pelayanan” berasal dari kata “pelayan” yang devinisnya adalah:
“Pengertian pelayan dalam Kitab Suci sebenarnya merujuk mereka yang menjadi budak. Budak itu tanpa hak. Yang ia miliki hanyalah kewajiban. Ia harus melayani tuannya kapan pun juga. Seorang budak tidak memiliki kuasa apa-apa bahkan atas hidupnya sendiri.[1]
Penjelasan diatas dianalogikan oleh Martasudjita dengan Yesus yang turun ke bumi menjadi pelayanan. Hal ini terlihat dari pengorbanan Yesus sampai Ia mati di kayu salib. Seorang pelayan atau hamba (Yesus) tidak memiliki kuasa untuk menolak perintah Tuhan atas nyawanya sendiri.
Menjadi seorang pelayan Tuhan yang baik harus mau memberikan tubuh, jiwa, dan rohnya ke Yesus. Pelayanan itu sendiri lahir dari sebuah keikhlasan (dari hati), bahkan Paulus menjadikan dirinya sebagai suatu alat di tangan Yesus.[2] Kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan adalah memberikan seluruh apa yang dimiliki kepada tuannya (TuhanYesus).
Pada perkembangannya, pelayanan selalu diidentikan dengan melayani Tuhan di gereja (gedung). Hal ini sering diutarakan oleh beberapa pengurus yang mewajibkan pelayan Tuhan “wajib” melayani di gereja. Pergeseran kata “pelayanan” dalam konteks ranah menjadi ambigu. Tulisan Paulus kepada jemaat di Korintus menegaskan bahwa gereja bukanlah sekedar sebuah gedung, melainkan manusianya itu sendiri. Pernyataan Paulus menegenai gereja, yaitu:
“Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu”.[3]
Paulus menyatakan dengan jelas bahwa gereja atau bait Allah bukan sebuah gedung melainkan manusia. Gereja menjadi sebuah subjek (saya, anda, kamu, dia, mereka, dan kalian) bukan mengarah kepada objek (bangunan). Pelayanan yang sesungguhnya bukan di gereja pada hari minggu saja, tetapi disetiap hari saat kita bertemua dengan manusia lain.
            Pergeseran makna pelayanan atau melayani inilah yang menjadi keresahan penulis. Banyak pemimpin menegaskan bahwa pelayanan itu hari minggu dan di gereja. Hal ini terlihat jelas dari doktrin yang diajarkan. Pelayan Tuhan di gereja (worship leader, singer, pemusik, dan soundman) diharuskan selalu melayani setiap hari minggu. Padatnya ibadah minggu membuat terbengkalainya kegiatan di hari senin. Pernyataan pendeta Gilbert Lumoindong dalam akun facebooknya menulis tujuh syarat pelayan Tuhan yaitu (1) semua perlu memiliki hati hamba; (2) semua harus rendah hati dan mengandalkan Tuhan; (3) semua harus lemah lembut; (4) mental prajurit; (5) semua harus melayani secara excellent (cepat dan tanggap terhadap segala kebutuhan; (6) semua bisa dipercaya untuk hal-hal kecil; dan (7) semua harus membangun kerja sama tim.[4] Banyak pernyataan orang lain yang membahas mengenai pelayan Tuhan, salah satunya Yohanes Ratu Eda. Ia menulis mengenai beberapa kriteria menjadi pelayan kristus yang baik, yaitu memiliki kepribadian yang mantap, meiliki pola pelayanan yang tepat, dan memliki motovasi yang benar (kita dapat melayani sesungguhnya karena kemurahan dan kuasa Tuhan).[5] Kedua pernyataan diatas tidak menyebutkan bahwa pelayanan harus di  gereja (tempat). Menjadi pelayan Tuhan intinya adalah berpedoman pada kasih dan kemuranan Tuhan Yesus .
            Pelayanan Tuhan di gereja (gedung) tidak semuanya fulltime yaitu memberikan waktunya untuk Tuhan dan Gereja, tetapi ada yang parttime. Kebanyakan dari parttime mengalami kesusahan mengatur jadwalnya. Contohnya, seorang mahasiswa atau pelajar yang menjadi pelayan Tuhan di gereja. Kesibukan ibadah minggu membuat lelah sehingga berdampak pada ketidakhadiran kuliah atau sekolah pada hari senin. Jika hal ini terus terjadi dan mengakibatkan hancur pendidikannya (dalam segi nilai), disini nama Tuhan sama sekali tidak dimuliakan. Tuhan akan menjadi alasan kemerosotan nilai dalam pendidikannya. Seorang mahasiswa pelayanan utamanya adalah belajar atau berkuliah maka lakukan semua untuk kemulian Tuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara belajar yang rajin, ujian tidak mencontek, dan mendapatkankan nilai yang baik. Mahasiswa yang telah melakukan hal tersebut, secara tidak langsung telah pelayanan dan meninggikan nama Tuhan. Nilai IPK atau hasil ujian yang baik semata-matu digunakan pelayanan yang terbaik untuk Tuhan. Mahasiswa belajar dengan rajin hal ini menjadi ucapan syukur karena Tuhan Masih memberikan kesempatan untuk kuliah. Kesempatan yang Tuhan kasih jangan disia-siakan, lakukan semua untuk kemuliaan Tuhan. Ketika kita menjadi orang yang terbaik di kampus, it’s all no about you or me but it’s all about Jesus.
            Menjadi pelayanan Tuhan adalah sebuah kewajiban setiap manusia yang percaya kepadaNya. Hal ini dikarenakan hidup kita telah ditebus olehNya diatas kayu salib. Pelayan Tuahan yang baik itu tidak terfokus di gereja (gedung) dan setiap hari minggu saja. Pengertian inilah yang membuat pergeseran makna pelayan Tuhan. Menjadi pelayan Tuhan haruslah disetiap waktu dan ruang, melakukan yang terbaik untuk kemulaian nama Tuhan. Berhentilah mendoktrin dan memaksa seseorang menjadi pelayan Tuhan karena melayani Yesus adalah keikhlasan, kesadaran, dan kemauan dari dalam diri. Pelayanan tidak hanya di sebuah gedung yang disebut gereja saja hal ini lah esensi dan makna pelayanan menjadi ambigu. Pelayanan tidak dapat dibatasi oelh ruang dan waktu. Dimana kita berada dan disetiap hembusan nafas lakukanlah yang terbaik untuk kemuliah nama Tuhan, itulah pelayanan yang sesungguhnya.
It’s all about Jesus
.



DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alkitab Perjanjian Baru. 1 Korintus 3:16-17.
Barclay, William. Pemahaman Alkitap Setiap Hari: Surat Roma. Terj. Nanik Harjono dan Jakub Susabda.  Cetakan ke-9. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009.
Pr. E. Martasudjita. Pelayanan yang Murah Hati. Yogyakarta: Kanisius. 2003.

Sumber Online
Lumoindo, Gilbert. “7 syarat pelayan Tuhan”. Diakses pada laman https://id-id.facebook.com/psgilbertlumoindong/posts/10151511205496426. Tanggal 15 Oktober 2017.
Ratu Eda, Yohanes. “Menjadi Pelayan Kristus Yang Baik 1”. Diakses pada laman       https://kumpulankhotbahalkitabiah.blogspot.com/2015/08/menjadi-pelayan-kristus-yang-baik-part-1.html. Tanggal 15 Oktober



[1]E. Martasudjita Pr, Pelayanan yang Murah Hati (Yogyakarta: Kanisius, 2003),  41.
[2]William Barclay, Pemahaman Alkitap Setiap Hari: Surat Roma, Terj. Nanik Harjono dan Jakub Susabda, cetakan ke-9 (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009), 301.
[3]Alkitab Perjanjian Baru, 1 Korintus 3:16-17.
[4]Gilbert Lumoindo, “7 syarat pelayan Tuhan”, diakses pada laman https://id-id.facebook.com/psgilbertlumoindong/posts/10151511205496426, tanggal 15 Oktober 2017.
[5]Yohanes Ratu Eda, “Menjadi Pelayan Kristus Yang Baik 1”, diakses pada laman https://kumpulankhotbahalkitabiah.blogspot.com/2015/08/menjadi-pelayan-kristus-yang-baik-part-1.html, tanggal 15 Oktober 2017. 

Selasa, 24 Februari 2015

Apa itu Etnomusikologi???

Apa itu ETNOMUSIKOLOGI???

Etnomusikologi merupakan bagian dari musikologi. Kata Etnomusikologi berasal dari ethnomusicology (bahasa Inggris) yang berasal dari tiga kata yaitu ethos, mousike, dan logos. Kata ethos memiliki arti bangsa-bangsa; mousike artinya musik, dan logos artinya ilmu. Secara harfiah dapat ditarik secara singkat definisi etnomusikologi, yaitu ilmu musik bangsa-bangsa.[1] Banyak peneliti telah mendefinisikan etnomusikologi, salah satunya Benyamin Gilman. Allan P. Merriam mengutip definisi etnomusikologi oleh Benyamin Gilman, yaitu:
Ethnomusicology the study of exotic music properly comprised primitive and orirntal forms.[2]
Etnomusikologi merupakan studi tentang music eksotik secara tepat terdiri atas bentuk primitive dan oriental.

Istilah Etnomusikologi muncul pada tahun 1960-an. Istilah ini digunakan oleh Jaap Kunts dalam bukunya yang berjudul Musicologica: a Study of The Nature of Ethnomusicology, its Problems, Methods, and Represntative Personalities.[3] Sebelum tahun 1960-an, kata Etnomusikologi belum digunakan sebagai ilmu yang meneliti dan mengkaji musik bangsa-bangsa. Kata yang digunakan sebelum Etnomusikologi, adalah musik perbangingan atau musik komparatif. Istilah music komparatif muncul pertama kali dikemukakan oleh Guido Alder, ia mengumpulkan lagu-lagu rakyat dari berbagai bangsa di dunia, digunakan untuk tujuan etnografi dan klasifikasi.[4]
 Dikatakan musik perbandingan karena peneliti-peneliti membandingkan musik yang ada di dunia.[5] Meneliti musik dengan cara mengkomparasikan musik suatu bangsa dengan bangsa lain untuk memperoleh persamaan dan perbedaan (karakteristik). Peneliti musik bangsa-bangsa pada saat itu menggunakan konsep musik Barat. Hal ini dapat dilihat bahwa beberapa peneliti yang sudah terbiasa mengenal musik diatonik (12 nada), menganggap musik pentatonik (5 nada) adalah salah. Beberapa peneliti berusaha menghilangkan pengaruh musik Barat untuk meneliti dan mengkaji musik yang menggunakan pentatonik.
Para etnomusikolog dalam meneliti dan mengkaji musik bangsa-bangsa, pertama-tama mereka membuat etnografi dan memasukan musik kedalamnya. Jadi Etnomusikologi itu sendiri awal mulanya terfokus pada nada-nada dan alat musik bangsa lain, lalu berkembang menjadi mencari relasi antara musik dengan manusia dalam sebuah kebudayaan. Perkembangan ilmu Etnomusikologi pada masa ini terlihat jelas, yaitu penelitian ini memerlukan teks dan konteks. Teks yang dimaksud adalah musik itu sendiri; dan konteks adalah masyarakat. Penelitian Etnomusikologi tidak dapat berdiri di satu kaki dengan meneliti musik daerah atau bangsa-bangsa saja, tetapi harus melihat fungsi dan makna musik dalam ranah sosial.[6]
Dalam penelitian etnomusikologi, terdapat beberapa prosedur yang bias membantu dalam penelitian. Penelitian etnomusikologi melalui tujuh langkah menurut Barbara Krader, yaitu (1) koleksi dan dokumentasi: kegiatan pengumpulan data yang dapat dilakukan dengan bantuan alat teknologi, yaitu kamera dan recorder, (2) transkip dan analisis akustika: mencatat hal-hal (data) yang esensial dan menganalisis struktural musikalnya, (3) klasifikasi, sistematisasi, dan analisis: untuk mengetahui hubungan antar setiap bagian, (4) fungsi sosial: mengetahui fungsi instrument atau pertunjukan dalam konteks sosial (5) dimensi kesejarahan: berguna untuk melihat perkembangan dari objek yang diteliti (6) etika: dalam meneliti etnomusikologi, peneliti juga harus mempublikasikan seniman (musisi) yang diteliti, dan (7) kesimpulan: .[7] Prosedur penelitian etnografi yang disampaikan oleh Krader, diharapkan penelitian yang dilakukan etnomusikolog dapat tersusun secara sistematis.



[1]Shin Nakagawa, Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1-2.
[2]Alan P. Merriam, The Anthropology of Music,  (Amerika, Northwestern University Press, 1964), 5.
[3]R. Supanggah (ed), Etnomusikologi (Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 1995), 1.
[4]R. Supanggah (ed), 44.
[5]Nakagawa, 2.
[6]Nakagawa, 6.
[7]R. Supanggah, 9-25. 

Antropologi Musik

ANTROPOLOGI
MUSIK

         
Antropologi Musik merupakan dua disiplin ilmu yang saling berkorelasi antara “Antropologi” dengan “Musikologi”. Kedua disiplin ilmu ini sering digunakan oleh para etnomusikolog untuk mengkaji kesenian (musik) yang ada disuatu ranah sosial. Hal ini membuat ilmu Etnomusikologi memiliki perspektif yang cukup banyak tetapi tetap memiliki relasi yang saling terikat. Sebelum memaparkan tentang Antropologi Musik lebih jauh, ada baiknya memisahkan dua kata menjadi “Antropologi” dengan “Musik”. Hal ini bertujuan untuk melihat lebih jelas definisi dari dua kata tersebut sehingga teks dan konteks dari Antropologi Musik menjadi lebih jelas dan tidak ambigu.
1.   ANTROPOLOGI
Antropologi merupakan kata yang berasal dari Bahasa Yunani, yaitu  “anthropos” yang artinya “manusia” dan “logy” atau “logos” yang berarti “ilmu”. Secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang aspek manusia.[1] Secara implisit, Antropologi merupakan ilmu tentang manusia.
1.1 Fase-fase Perkembangan Ilmu Antropologi
Ilmu Antropologi memliki empat fase dalam perkembangannya. Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi disebutkan fase-fase perkembangan Ilmu Antropologi, yaitu: Fase Pertama (sebelum tahun 1800), Fase Kedua (pertengahan abad ke-19), Fase Ketiga (permulaan abad ke-20), dan Fase Keempat (sesudah tahun 1930).[2]
1.1.1   Fase Pertama (sebelum tahun 1800)
Fase pertama melihat perkembangan Ilmu Antropologi dari kedatangan bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika, Asia, dan Amerika sekitar akhir abad 15 hingga permulaan abad 16. Bangsa Eropa Barat dating ketiga benua dan menulis hal-hal yang menurut mereka asing pada negara yang mereka kunjungi. Banyak catatan (bahan deskripsi yang disebut “etnografi” dari kata “ethos” yang artinya “bangsa”) terkumpul, ditulis oleh para musafir, pelaut, pendeta (misionaris) agama Nasrani, dan penerjemah perjalanan).
Catatan deskripsi dikumpulkan oleh para kaum terpelajar. Pandangan para kaum terpelajar di Eropa Barat dalam mengkaji bahan deskripsi yang telah ada, menghasilkan tiga sikap yaitu: (1) Bangsa-bangsa selain Eropa bukan manusia sebenarnya, melainkan mereka manusia liar, keturunan iblis (muncul istilah primitives, savages), (2) Ada pendapat bahwa bangsa-bangsa itu merupakan contoh  dari masyarakat yang masih murni (belum mengenal baik-buruk), dan (3) Ada yang tertarik dengan adat-istiadat dari suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Osenia (kepulauan di Laut Teduh), dan Amerika pribumi. Ketertarikan inilah yang menyebabkan mereka membawa benda-benda kebudayaan dan mendirikan museum.[3]
1.1.2   Fase Kedua (Pertengahan Abad ke-19)
Ketertarikan terhadap bangsa diluar Eropa menghasilkan para peneliti dan kaum terpelajar mengintegrasikan seluruh bahan etnograafi menjadi satu. Anggapan mengenai bangsa-bangsa selain Eropa merupakan bangsa yang primitive yang merupakan sisa-sisa dan contoh dari kebudayaan kuno. Hal ini membuat orang-orang Eropa mempelajajari kebuadayaan di luar Eropa untuk menambah pengetahuan sejarah, maka muncul Ilmu Antropologi. Tujuan Ilmu Antropologi pada fase kedua adalah mempelajari manusia dan kebudayaan primitive untuk mendapatkan pengertian dari tingkatan kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah perkembangan kebudayaan manusia.[4]
1.1.3   Fase Ketiga (Permulaan Abad ke-20)
Penjajah dari Eropa mencapai puncak kekuasaan di daerah-daerah jajahannya. Ilmu Antropologi berperan penting untuk mempelajari bangsa-bangsa jajahannya. Tujuan iIlmu Antropologi pada fase ketiga adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan dari suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepantingan dari pemerintah colonial dan mendapatkan pengertian tentang masyarakat yang komplek.[5]
1.1.4   Fase Keempat (sesudah tahun 1930)
          Perkembangan Ilmu Antropologi menjadi luas, hal ini disebabkan karena konteks meneliti oleh para antropolog sudah sedikit. Hal ini disebabkan karena muncul antipasti terhadap kolonialisme sesudah Perang Dunia II dan hilangnya bangsa-bangsa primitive. Tujuan ilmu Anropologi pada fase keempat ada dua, yaitu secara akademis dan praktis. Tujuan akademisnya yaitu mempelajari manusia dari keragaman fisik, masyarakat, dan kebudayaan. Tujuan praktisnya yaitu mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat pada suatu suku bangsa dengan tujuan membangun masyarakat suku bangsa tersebut.[6]
          Perkembangan Ilmu Antropologi terus meningkat menghasilkan cabang-cabang dari ilmu tersebut. Perkembangan Ilmu Antropologi menjadi beberapa spesialis yaitu Antropologi Fisik dan Antropologi Budaya. Antropologi Budaya terbagi llebih spesifik, yaitu: (1) Arkeologi (bagian Antropologi yang mempelajari budaya yang telah sirna), (2) Etnografi (pelukisan tentang bangsa-bangsa, (3) Entologi (ilmu tentang bangsa-bangsa), dan (4) Antropologi Lingustik.[7]
          Antropologi Musik termasuk dalam spesialisasi Antropologi Budaya. Hal ini dapat dilihat dari unsur kebudayaan yaitu bahasa, ilmu pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem religi, dan kesenian.[8]
2.   MUSIK
Kata “Musik” sering digunakan dalam ranah sosial dan akademik. Kata “Musik” itu sendiri merupakan cabang seni yang membahas dan menetapkan berbagai suara ke dalam pola-pola yang dapat dimengerti.[9] Banyak filusuf yang mendefinisikan kata musik menurut persepektif yang berbeda. Filsuf terkenal salah satunya Pythagoras, ia mendefinikan music merupakan suatu bidang dimana matematika tidak dapat lepas darinya.[10] Konsep ini muncul ketika Pythagoras menganalogikan ilmu matematika pada perbandingan panjang-pendek senar.
Musik itu sendiri memiliki tiga unsur, yaitu (1) Melodi, merupakan rangkaian tinggi-rendah nada yang terangkai menjadi sebuah lagu, (2) Ritme, merupakan derap atau langkah yang teratur, dan (3) Harmoni, merupakan keselarasan antara melodi dengan ritme.[11]
          Jadi dapat ditarik benang merah bahwa musik merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan nada. Unsur-unsur dari nada, yaitu: (1) Pitch, merupakan tinggi-rendahnya nada, (2) Duration, merupakan panjang-pendeknya nada, (3) Intensity, merupakan keras-lembutnya nada, dan (4) Timbre, merupakan warna nada.[12] Musik berkaitan dengan instrument atau alat music. Macam-macam alat musik secara umum, yaitu: (1) Dawai - intrumen gesek (viola, violin, Cello, Contra Bass), petik (Gitar, Kecapi, Sape, Gambus), dan pukul dawai (Piano, Clavichord), (2) Getaran Kolom Udara – Woodwind (alat music tiup kayu seperti Hule, Picollo, Saxophone), Kuningan (Trompet, Trombon, Tuba), dan (3) Batangan, Piringan selaput atau Perkusi – Bernada (Gong, Marimba, Gamelan, Marimba, Timpani), Tidak Bernada (Triangel, Tamborin).[13]

3.   PENGANTAR ANTROPOLOGI MUSIK

Dekripsi mengenai Antopologi dan Musik telah dipaparkan diatas, dapat ditarik benang merah bahwa Antropologi Musik merupakan studi yang mempelajari kesenian (musik) yang ada dalam suatu suku dan bangsa. Setiap suku dan bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda , hal ini menyebabkan kesenian (musik) setiap suku berbeda-beda. Perbedaan kesenian pada setiap suku juga bisa dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (letak geografis). Contoh: keadaan lingkungan suatu suku mempengaruhi instrumen musiknya. Contoh: Kalimantan yang kaya akan kayunya, mengahsilkan banyak instrument musik yang terbuat dari kayu (salah satunya sape). Daerah Jawa Barat yang kaya akan bambu, menghasilkan instrument yang terbuat dari bambu (salah satunya angklung). Jadi Antropologi Musik merupakan ilmu yang mempelajari karya manusia dalam bentuk musik (kebudayaan) pada suatu suku atau bangsa.


[1]Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi (Bantul: LKiS Yogyakarta, 2007), 2-3.
[2]Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 1-4.
[3]Koentjaraningrat, 1-2.
[4]Koentjaraningrat, 3
[5]Koentjaraningrat, 4.
[6]Koentjaraningrat, 5.
[7]T. O. Ihromi (ed), Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), ix.
[8]Koentjaraningrat, 165.
[9]Pono Banoe, Kamus Musik (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 288.
[10]Sukamti Susasintina, Nada-nada Radikal: Pembicaraan Para Filusuf Tentang Musik (Yogyakarta: Panta Rhei Books, 2004), 121.  
[11]Hendro, Panduan Praktis Berimprovisasi Piano Rock dan Blues,Cetakan ke-2 (Jakarta: Puspa Swara, 2007), 2.
[12]Hanna Sri Mudjilah, Teori Musik I, Diktat Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negri Yogyakarta, 2010, 1.
[13]Catatan kuliah, pada tanggal 21 September 2007. 

Kamis, 30 Oktober 2014

Sejarah Jazz di Indonesia

Sejarah Jazz di Indonesia

Awal mula musik Barat masuk ke Indonesia dibawa oleh bangsa Portugis di Maluku. Nyanyian Gregorian dinyanyikan selama Misa Penerimaan Maria Tak Ternoda yang diadakan pada tanggal 15 Agustus 1549, yaitu Gloria in Exelcis Deo.[1] Hal ini memberikan pengertian bahwa skala diatonik sudah masuk ke Indonesia semenjak tahun 1549. Perkembangan musik jazz sampai ke Indonesia dibawa oleh kolonial Belanda, dan dimainkan di daerah perkebunan. Mengenai hal tersebut, Arifianto menyebutkan bahwa:
Secara historis musik jazz di Indonesia dibawa dan dikembangkan oleh kebudayaan Barat, yakni oleh Kolonial Belanda, pada akhir tahun 1928-1930-an. Musik jazz masuk pertama kali di Indonesia dari daerah perkebunan. Di berbagai perusahaan perkebunan itu oleh penjajah dibentuk hiburan salah satu diantaranya musik jazz. Musik jazz yang masuk ke Indonesia cenderung ke arah musik jazz versi dansa, yang biasa digunakan oleh perkumpulan kaum pedagang Belanda ketika itu.[2]

Hal ini juga dikemukakan oleh Yapi Tambayong dalam karyanya yang berjudul 123 Ayat tentang Seni, meyebutkan:
Jazz sendiri sudah menjadi pilihan musik hiburan di Indonesia sejak 1920an. Salah seorang tokoh penting di bidang ini yang diapresiasikan masyarakat dari sudut pandang kebangsaan adalah Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu Indonesa Raya. Sejak 1925 Wage bermain musik jazz dengan bandnya Black and White di kazerne Makasar mengiringi dansa para perwira tentara Belanda. Salah satu lagu yang dimainkan secara jazz dengan Wage adalah bahasa Belanda-Indo “lekka-lekka, pinda-pinda”, artinya “enak-enak, kacang-kacang”. Dari lagu ini pula Wage mengubahnya menjadi “Indoness, Indoness” dan sempat direkam sebagai piringan hitam pada 1927 di Hongkong. Sebelum diperdengarkan dalam Kongres Pemuda pada tahun 1928, Bung Karno mengusulkan untuk mengubahnya menjadi “Indonesia Raya”.[3]
Musik jazz dibawa oleh koloni Belanda ke Indonesia. Mereka gunakan musik jazz sebagai musik hiburan bagi kaum pedagang dan perwira Belanda yang ada di Indonesia. Korelasi antara orang Belanda dan orang Indonesia dalam bermusik membawa dampak pada lagu kebangsaan Indonesia yaitu asal muasal lagu Indonesia Raya yang merupakan musik jazz bergenre Swing dengan semangat march. Peneliti melakukan wawancara dengan Tomi Sumirah, pelaku jazz di Yogyakarta tahun 80-an, ia mengatakan bahwa:
Orang-orang Belanda menyukai musik jazz yang riang. Ya...suka yang berirama Waltz, March, Polka, dan Swing karena dipake buat pengiring orang dansa.[4]

Musik jazz terus berkembang dan diminati orang Indonesia. Mereka membentuk kelompok musik yang disebuat MUANI. Inilah kelompok musik jazz pertama di Indonesia. Arifianto menyatakan:
Dengan masuknya musik jazz ke Indonesia mulailah para pemusik Indonesia menyerap jenis musik tersebut. Kelompok musik jazz pertama adalah “Musik Anak Nasional Indonesia” Muani yang dibentuk pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, yang kemudian muncul para tokoh musik jazz muda seperti Mus Mualim, dan Eddy Karamoy. Pada pendudukan Jepang semua jenis musik jazz dilarang untuk konser dan pertujukan lainnya.[5]

Musik jazz yang dimainkan oleh kelompok MUANI tidak jauh beda dengan musik jazz yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia yaitu musik jazz versi dansa. Pertunjukan musik jazz dilarang pada masa Jepang karena penjajah Jepang mempunyai kebijakan yang disebut Misi Suci yaitu melawan imperialisme Barat dalam setiap aspek termasuk kebudayaan.[6] Jepang melarang dan menghapus semua unsur kebudayaan Barat yang ada di Indonesia, termasuk musik jazz.
Mulai tahun 1959, musik jazz mengalami kemunduran lagi karena perintah Presiden Ir. Soekarno menentang apapun yang berasal dari Barat. Hal ini disebabkan karena kebudayaan Barat berkembang pesat di Indonesia. Hikmat Budiman, dalam karyanya yang berjudul Lubang Hitam Kebudayaan, menyatakan:
Berpidato dalam peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno bahkan secara terang-terangan mengutuk musik “ngak ngik ngok”…. Nasib yang sama juga menimpa film-film Barat yang dituduh sebagai bagian dari propaganda neokolonialisme dan imperialisme.[7]

Gerakan budaya yang digencarkan Bung Karno adalah menggiatkan musik yang mewakili tata krama budaya timur yaitu irama Lenso.[8] Irama Lenso adalah bentuk musik pada iringan tarian Lenso yang berasal dari Ambon. Peraturan ini menghasilkan album kompilasi yang berjudul Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso yang dirilis pada tanggal 14 April 1965, terdiri dari lagu Bersuka Ria, Soleram, Burung Kakatua, Gelang Sipaku Gelang, Bengawan Solo, Euis, Malam Bainai, dan Gendjer-gendjer. Lagu-lagu ini dimainkan oleh grup yang bernama The Lensoist.[9]      
Perkembangan jazz mulai memperlihatkan eksistensinya pada tahun 1966, muncul Indonesian All Stars yang terdiri dari musisi jazz ternama seperti Bubi Chen (piano), Maryono (saxophone atau klarinet), Yopie Chen (bass), Benny Mustafa (drum) dan Jack Lesmana (gitar). Indonesian All Stars mengangkat citra Indonesia di mata dunia. Kelompok ini pernah diundang di Australia, Amerika Serikat, dan Jerman. Indonesian All Stars juga mengaransemen lagu-lagu tradisional Indonesia di Jerman. Danny Sakrie dalam karyanya yang berjudul Musisiku, menyatakan:
Alhasil muncullah album Djanger Bali yang mereka rekam di MPS Studio Villingen Black Forest, Jerman, selama dua hari berturut-turut, 27 dan 28 Oktober 1967. Album ini berisi empat lagu tradisional Indonesia, yaitu ilir-ilir, Burung Kakatua, Gambang Suling, dan Djanger Bali.[10]

Sekitar tahun 1980-1990, musik jazz genre Fusion Jazz berkembang karena grup musik seperti Krakatau, Karimata, Bhaskara, dan Emerald sering mengisi layar kaca TVRI.[11] Banyak orang Indonesia yang sudah tertarik dengan musik jazz. Indonesia pernah menjadi tuan rumah festival jazz internasional. Mengenai hal ini Liz Wiwiek W menyatakan:
Indonesia pernah menjadi tuan rumah Jakarta International Jazz Festival 88 atau Jak Jazz 88 pada bulan November 1988. Festival ini dimeriahkan sekitar 14 negara, termasuk bintang jazz Amerika Serikat Lee Ritenour, dan vokalis Phil Perry, serta gitaris top Jepang Kamuzi Watanabe. Kesempatan seperti ini diharapkan dapat lebih memasyarakatkan musik jazz di Indonesia.[12]

Sampai saat ini, musik jazz terus berkembang di Indonesia dengan baik. Banyak festival jazz yang diadakan di Indonesia, di antaranya: Jakarta International Jazz Festival (Jak Jazz), Java Jazz Festival, Jazz Goes to Campus, Jazz Mahakam, dan Ngayogjazz. Musisi-musisi jazz dan band jazz bermunculan, seperti: BLP, Abdul and The Coffee Theory, Tohpati Bertiga, Tompi, The ExtraLarge, Maliq and D’essentials, Indang Rasjidi. Banyak pula komunitas jazz di Indonesia, seperti Medan Jazz Society, Palembang Jazz Community, Batam Jazz Forum, Riau Jazz Society, Jajan Jazz, C Two Six Surabaya, Bali Jazz Forum, Jazz Lovers Pekalongan, Komunitas Jazz Jogja (KJJ), Jakarta Jazz Society, Klub Jazz Bandung, Komunitas Jazz Bandung, Komunitas Jazz Banten, Komunitas Jazz Chics, Komunitas Jazz Kemayoran, UN Jazz, Semarang Jazz Community, Malang Jazz Forum (MJF), Purwokerto Jazz Community, Kalimantan Jazz Lovers, dan Makasar Jazz Society.[13]




[1]Triyono Bramantyo, Disseminasi Musik Barat di Timur, (Yogyakarta:  Yayasan Untuk Indonesia, 2004), 65.
[3]Yapi Tambayong, 123 Ayat Tentang Seni (Bandung: Nuansa Cendekia, 2012), 99.
[4]Wawancara dengan Tomi Sumirah, pada tanggal 1 Juni 2014.
[6]Diunduh dari laman http://www.javanologi.info/main/index.php?page=artikel&id=50, diakses pada tanggal 2 Mei 2014.
[7]Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 140.
[8]Danny Sakrie, Musisiku (Jakarta: Republika, 2007), 34.
[10]Sakrie, 35-36.
[11]Oki Rahadianto Sutopo, Transformasi Jazz Yogyakarta: Dari Hibriditas Menjadi Komoditas, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 17, No. 1, Januari 2012: 71.
[12]Liz Wiwiek W., Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 7 (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), 398-399.
[13]Diunduh dari laman http://www.wartajazz.com/, diakses pada tanggal 1 Juni 2014.