Sejarah Jazz di
Indonesia
Awal mula
musik Barat masuk ke Indonesia dibawa oleh bangsa Portugis di Maluku. Nyanyian Gregorian
dinyanyikan selama Misa Penerimaan Maria
Tak Ternoda yang diadakan pada tanggal 15 Agustus 1549, yaitu Gloria in Exelcis Deo.[1] Hal ini memberikan pengertian
bahwa skala diatonik sudah masuk ke Indonesia semenjak tahun 1549. Perkembangan
musik jazz sampai ke Indonesia dibawa oleh kolonial Belanda, dan dimainkan di daerah
perkebunan. Mengenai hal tersebut, Arifianto
menyebutkan bahwa:
Secara
historis musik jazz di Indonesia dibawa dan dikembangkan oleh kebudayaan Barat,
yakni oleh Kolonial Belanda, pada akhir tahun 1928-1930-an. Musik jazz masuk
pertama kali di Indonesia dari daerah perkebunan. Di berbagai perusahaan
perkebunan itu oleh penjajah dibentuk hiburan salah satu diantaranya musik
jazz. Musik jazz yang masuk ke Indonesia
cenderung ke arah musik jazz versi dansa, yang
biasa digunakan oleh perkumpulan kaum pedagang Belanda ketika itu.[2]
Hal ini juga dikemukakan oleh Yapi
Tambayong dalam karyanya yang berjudul 123
Ayat tentang Seni, meyebutkan:
Jazz sendiri sudah menjadi pilihan musik hiburan
di Indonesia sejak 1920an. Salah seorang tokoh penting di bidang ini yang
diapresiasikan masyarakat dari sudut pandang kebangsaan adalah Wage Rudolf
Supratman, pencipta lagu Indonesa Raya. Sejak 1925 Wage bermain musik jazz dengan
bandnya Black and White di kazerne
Makasar mengiringi dansa para perwira tentara Belanda. Salah satu lagu yang
dimainkan secara jazz dengan Wage adalah bahasa Belanda-Indo “lekka-lekka, pinda-pinda”, artinya
“enak-enak, kacang-kacang”. Dari lagu ini pula Wage mengubahnya menjadi
“Indoness, Indoness” dan sempat direkam sebagai piringan hitam pada 1927 di
Hongkong. Sebelum diperdengarkan dalam Kongres Pemuda pada tahun 1928, Bung
Karno mengusulkan untuk mengubahnya menjadi “Indonesia Raya”.[3]
Musik jazz dibawa oleh koloni Belanda ke Indonesia.
Mereka gunakan musik jazz sebagai musik hiburan bagi kaum pedagang dan perwira
Belanda yang ada di Indonesia. Korelasi antara orang
Belanda dan orang Indonesia dalam bermusik membawa dampak pada lagu kebangsaan
Indonesia yaitu asal muasal lagu Indonesia Raya yang merupakan musik jazz bergenre Swing dengan semangat march. Peneliti melakukan wawancara dengan Tomi Sumirah, pelaku jazz di
Yogyakarta tahun 80-an, ia mengatakan bahwa:
“Orang-orang
Belanda menyukai musik jazz yang riang. Ya...suka yang
berirama Waltz, March, Polka, dan Swing karena dipake
buat pengiring orang
dansa”.[4]
Musik jazz terus berkembang dan
diminati orang
Indonesia. Mereka
membentuk kelompok musik yang disebuat MUANI. Inilah kelompok musik jazz pertama
di Indonesia. Arifianto menyatakan:
Dengan
masuknya musik jazz ke Indonesia mulailah para pemusik Indonesia menyerap jenis
musik tersebut. Kelompok musik jazz pertama adalah “Musik Anak Nasional
Indonesia” Muani yang dibentuk pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, yang
kemudian muncul para tokoh musik jazz muda seperti Mus Mualim, dan Eddy
Karamoy. Pada pendudukan Jepang semua jenis musik jazz dilarang untuk konser
dan pertujukan lainnya.[5]
Musik
jazz yang dimainkan oleh kelompok MUANI tidak jauh beda dengan musik jazz
yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia yaitu musik jazz versi
dansa. Pertunjukan musik jazz dilarang pada
masa Jepang karena penjajah Jepang mempunyai kebijakan yang disebut Misi
Suci yaitu melawan imperialisme
Barat dalam setiap aspek termasuk kebudayaan.[6] Jepang melarang dan menghapus semua unsur kebudayaan
Barat yang ada di Indonesia,
termasuk musik jazz.
Mulai tahun 1959, musik jazz mengalami
kemunduran lagi karena perintah Presiden Ir. Soekarno menentang apapun yang berasal
dari Barat.
Hal ini disebabkan karena kebudayaan Barat berkembang
pesat di Indonesia. Hikmat Budiman, dalam karyanya
yang berjudul Lubang Hitam Kebudayaan,
menyatakan:
Berpidato
dalam peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno bahkan
secara terang-terangan mengutuk musik “ngak
ngik ngok”…. Nasib yang sama juga menimpa film-film Barat yang dituduh
sebagai bagian dari propaganda neokolonialisme dan imperialisme.[7]
Gerakan budaya yang digencarkan
Bung Karno adalah menggiatkan musik yang mewakili tata krama budaya timur yaitu
irama Lenso.[8] Irama Lenso
adalah bentuk musik pada iringan tarian Lenso
yang berasal dari Ambon. Peraturan ini menghasilkan album kompilasi yang
berjudul Mari Bersuka Ria dengan Irama
Lenso yang dirilis pada tanggal 14 April 1965, terdiri dari lagu Bersuka
Ria, Soleram, Burung Kakatua, Gelang Sipaku Gelang, Bengawan Solo, Euis, Malam
Bainai, dan Gendjer-gendjer. Lagu-lagu ini dimainkan oleh grup yang bernama The Lensoist.[9]
Perkembangan
jazz mulai memperlihatkan eksistensinya pada tahun 1966, muncul Indonesian
All Stars yang terdiri dari musisi jazz ternama seperti Bubi Chen (piano),
Maryono (saxophone atau klarinet), Yopie Chen
(bass), Benny Mustafa (drum) dan Jack Lesmana (gitar). Indonesian
All Stars mengangkat citra Indonesia di mata
dunia. Kelompok ini pernah
diundang di Australia, Amerika Serikat, dan Jerman. Indonesian
All Stars juga mengaransemen lagu-lagu
tradisional Indonesia di Jerman. Danny Sakrie dalam karyanya yang berjudul Musisiku, menyatakan:
Alhasil
muncullah album Djanger Bali yang
mereka rekam di MPS Studio Villingen Black Forest, Jerman, selama dua hari
berturut-turut, 27 dan 28 Oktober 1967. Album ini berisi empat lagu tradisional
Indonesia, yaitu ilir-ilir, Burung Kakatua,
Gambang Suling, dan Djanger Bali.[10]
Sekitar tahun
1980-1990, musik jazz genre Fusion Jazz
berkembang karena grup musik
seperti Krakatau, Karimata, Bhaskara, dan
Emerald sering mengisi layar kaca TVRI.[11] Banyak orang Indonesia yang sudah tertarik dengan musik
jazz. Indonesia pernah menjadi tuan rumah
festival jazz internasional. Mengenai hal ini
Liz Wiwiek W menyatakan:
Indonesia
pernah menjadi tuan rumah Jakarta International Jazz Festival 88 atau Jak Jazz
88 pada bulan November 1988. Festival ini dimeriahkan sekitar 14 negara,
termasuk bintang jazz Amerika Serikat Lee Ritenour,
dan vokalis Phil Perry, serta gitaris top Jepang Kamuzi
Watanabe. Kesempatan seperti ini diharapkan dapat lebih memasyarakatkan musik
jazz di Indonesia.[12]
Sampai saat ini, musik jazz terus berkembang di
Indonesia dengan baik. Banyak festival jazz yang diadakan di Indonesia, di antaranya: Jakarta International Jazz Festival (Jak
Jazz), Java Jazz Festival, Jazz Goes to Campus, Jazz Mahakam, dan Ngayogjazz. Musisi-musisi jazz dan band
jazz bermunculan, seperti: BLP, Abdul and The Coffee Theory, Tohpati Bertiga,
Tompi, The ExtraLarge, Maliq and D’essentials, Indang Rasjidi. Banyak pula komunitas jazz di
Indonesia, seperti
Medan Jazz Society, Palembang Jazz Community, Batam Jazz Forum, Riau Jazz
Society, Jajan Jazz, C Two Six Surabaya, Bali Jazz Forum, Jazz Lovers
Pekalongan, Komunitas Jazz Jogja (KJJ), Jakarta Jazz Society, Klub Jazz
Bandung, Komunitas Jazz Bandung, Komunitas Jazz Banten, Komunitas Jazz Chics,
Komunitas Jazz Kemayoran, UN Jazz, Semarang Jazz Community, Malang Jazz Forum
(MJF), Purwokerto Jazz Community, Kalimantan Jazz Lovers, dan Makasar Jazz
Society.[13]
[1]Triyono Bramantyo, Disseminasi Musik Barat di Timur, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2004), 65.
[2]Diunduh dari
laman http://balitbang.kominfo.go.id/balitbang/aptika-ikp/files/2013/02/PERKEMBANGAN-MUSIK-DANGDUT-DAN-JAZZ.pdf, diakses pada tanggal
25 Febuari 2014, halaman
7.
[3]Yapi Tambayong, 123 Ayat Tentang Seni (Bandung: Nuansa
Cendekia, 2012), 99.
[5]Diunduh
dari laman http://balitbang.kominfo.go.id/balitbang/aptika-ikp/files/2013/02/PERKEMBANGAN-MUSIK-DANGDUT-DAN-JAZZ.pdf, diakses pada
tanggal 25 Febuari 2014, hal 7.
[6]Diunduh
dari laman http://www.javanologi.info/main/index.php?page=artikel&id=50, diakses pada
tanggal 2 Mei 2014.
[7]Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), 140.
[9]Diunduh
dari laman http://kumeokmemehdipacok.blogspot.com/2013/12/presiden-sukarno-dan-musik-indonesia.html, diakses
pada tanggal 20 Mei 2014.
[10]Sakrie, 35-36.
[11]Oki Rahadianto
Sutopo, “Transformasi
Jazz Yogyakarta: Dari Hibriditas Menjadi Komoditas,”
Jurnal Sosiologi Masyarakat,
Vol. 17, No. 1, Januari 2012: 71.
[12]Liz Wiwiek W., Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 7 (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka,
1989), 398-399.