Kamis, 30 Oktober 2014

PEMBENTUKAN HABITUS MUSIKAL
PADA KOMUNITAS JAZZ JOGJA PENGISI ALBUM KOMPILASI



Pengantar
Komunitas Jazz Jogja adalah komunitas yang terdiri dari musisi dan pecinta musik jazz di Yogyakarta. Sejak awal terbentuknya komunitas ini konsisten menyosialisasikan musik jazz ke semua lapisan masyarakat, khususnya di daerah Yogyakarta. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengoreksi pandangan mayoritas masyarakat yang memosisikan musik jazz sebagai genre musik elit dan hanya milik kaum borjuis. Hal ini terlihat dari mahalnya harga tiket dan megahnya gedung yang digunakan dalam pertunjukan musik jazz, sehingga tidak semua orang bisa menikmatinya. Fakta inilah yang membuat identitas musik jazz menjadi musik berkelas menengah ke atas dan berestetika tinggi.
Dengan kata lain, hadirnya Komunitas Jazz Jogja adalah bentuk perlawanan terhadap pertujukan jazz yang elit. Komunitas Jazz Jogja membuat pertunjukan musik jazz yang sederhana dan merakyat dengan tujuan agar bisa dinikmati oleh semua kalangan, di antaranya: Jazz Gayeng, Ngayogjazz, Jazz Mben Senen, Etawa Jazz, Jazz on The Street, dan Jazz Sunrise @the Beach. Menurut Hegel, fungsi utama seni adalah untuk mempresentasikan yang absolut dalam bentuk indrawi (Mudji Sutrisno, 2005: 32). Komunitas ini, berkesenian dengan cara mengadakan pertunjukan musik jazz dan mendokumentasikan karya (lagu) dari beberapa project atau band direkam ke dalam CD album kompilasi.
Album kompilasi adalah hasil perpaduan dari beberapa project dan lagu dalam sebuah CD. Album pertama berjudul Jazz Basuki Mawa Beya (2009). Konsep album ini adalah setiap project bebas menciptakan karya sendiri yaitu musik jazz (all ganre) atau jazz gaya Indonesia. Album kedua berjudul Jazz-Ing Java Sasarengan (2010). Konsep yang diusung adalah mengaransemen lagu tradisional Jawa menggunakan ritmis jazz. Album ketiga berjudul Lain Ladang Lain Jazznya (2011). Konsep album ini adalah mengaransemen lagu jazz menggunakan ritmis kesenian tradisional Indonesia (jazz gaya Indonesia). Album keempat berjudul Panen Karya (2012). Konsep pada album ini adalah setiap project menciptakan sebuah karya (lagu) menggunakan ritmis Indonesia. Album kelima berjudul Study-Ing Babad Jazz (2013). Konsep album ini adalah mengaransemen lagu jazz yang terkenal pada setiap eranya.
Perubahan konsep pada setiap albumnya secara simetris membentuk proses kesadaran individu dan project yang berpatisipasi pada album tersebut, dalam artian pembentukan habitus musikal mengikuti album kompilasi. Fokus penelitian ini pada individu dan project Komunitas Jazz Jogja yang mengisi album kompilasi. Individu dan project dipilih berdasarkan banyaknya keterlibatan di dalam album kompilasi. Hal ini bertujuan untuk melihat pembentukan habitus musikal yang terjadi pada pengisi album kompilasi karya Komunitas Jazz Jogja.
Penelitian ini juga melihat karakteristik musikal, proses produksi, dan peran album kompilasi terhadap pembentukan habitus musikal bagi pengisinya (individu dan project). Buku, artikel, dan tesis yang telah ada, sebenarnya permasalahan akan musik jazz bukan hal yang baru. Banyak penulis yang mengangkat musik jazz sebagai objek penelitian dengan kajian dan pengangkatan permasalah yang berbeda.

Kerangka Teori
Tesis ini membahas tentang pembentukan habitus musikal pada individu dan project pengisi album kompilasi karya Komunitas Jazz Jogja. Penelitian ini tidak hanya terfokus pada perubahan album kompilasi dari perspektif musikologi saja, melainkan juga melihat pembentukan habitus musikal dan proses produksi album kompilasi menggunakan perspektif sosiologi. Hal ini membuat peneliti menggunakan teori habitus Pierre Bourdieu untuk melihat pembentukan habitus musikal pengisi album kompilasi.
Produksi kultural dihasilkan oleh individu dalam suatu ranah sosial. Individu itu sendiri memiliki habitus yang tercipta dari disposisi-disposisi mereka dimulai dari kanak-kanak pada suatu ranah. Habitus dibentuk melalui pendidikan dan interaksi antara individu yang mendiami suatu ruang sosial (Richard Jenkins, 2013: 108-109). Singkatnya, habitus merupakan tindakan atau sikap yang terakumulasi dan dinamis mengikuti ranah sosial, sehingga habitus setiap individu berbeda-beda.
Produk habitus bersifat spesifik dan beradaptasi dengan ranah. Ranah merupakan sistem sosial yang bersifal relasional antara posisi objektif (Richard Jenkins, 2013: 124-125). Pada ranah terdapat perjuangan untuk memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas (field of stuggle). Proses produksi album kompilasi Komunitas Jazz Jogja dipandang sebagai suatu ranah di mana terjadi perjuangan atau manuver. Para individu yang tergabung dalam suatu project berjuang memproduksi karya untuk bisa berpatisipasi dan masuk dalam album kompilasi.
Para individu yang telah memiliki modal tetap harus menyesuaikan konsep album kompilasi. Ada empat katagori modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial (berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain yang bermakna), modal kultural (pengetahuan sah satu sama lain), dan modal simbolis (prestise dan gengsi sosial) (Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes, 2009: 17). Peneliti melihat keempat modal pada setiap individu dengan tujuan untuk melihat pembentukan habitus musikal dari perubahan karakteristik musikal dan proses produksi album kompilasi.
          Individu yang memiliki modal simbolis besar (dominan) akan mengisyaratkan tindakan eksplisit maupun implisit kepada individu yang memiliki modal simbolis kecil (terdominasi). Individu terdominasi akan mengikuti tindakan atau perintah dari individu dominan karena dianggap sesuatu yang legitimit. Tindakan atau perintah kerap diikuti oleh kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan dalam bentuk sangat halus yang diberikan pada individu tanpa mengundang resistensi, tetapi malah mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus (Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes, 2009: xxi).
          Kekerasan simbolik dipengaruhi oleh doxa yang cenderung mengatur kehidupan sosial. Doxa itu sendiri merupakan kestabilan dan keterikatan tatanan sosial dalam diri individu pada tradisi, serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan (Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes, 2009: xxi). Singkatnya, doxa merupakan kebenaran yang tidak dapat dipertanyakan. Pengisi album kompilasi menganggap Music Director adalah orang yang bertugas menjaga benang merah album kompilasi dan memiliki kemampuan bermusik yang baik. Hal ini membuat pengisi album kompilasi membenarkan saran yang diberikan Music Director guna kelancaran album kompilasi.
          Korelasi habitus dengan modal menghasilkan suatu praktik pada suatu ranah sosial. Hal ini terjadi karena seluruh kehidupan sosial pada dasarnya bersifat praktis (Richard Jenkins, 2013: 96). Pernyataan ini dianalogikan bahwa praktik tidak bekerja pada ruangan yang kosong. Relasi antara habitus dengan modal, praktik, doxa, kekerasan simbolik, dan kekuasaan simbolik dalam suatu ranah. Secara ringkas, Bourdieu menyatakan rumusan generative yaitu: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes, 2009: xxi). Pada penelitian ini, praktik berada pada Jaran Art Space, Bentara Budaya Yogyakarta, dan Padepokan Bagong yang digunakan pada proses produksi album kompilasi.
Pierre Bourdieu dalam karyanya berjudul Arena Produksi Kultural berbicara tentang suatu karya yang tercipta karena adanya relasi-relasi yang objektif pada suatu ranah. Karya seni tidak tercipta dari kreasi senimannya saja, banyak individu atau kelompok yang berpatisipasi didalamnya, Bourdieu berpendapat bahwa:
Penyelidikan harus ditingkatkan kepada semua pihak yang turut memberikan kontribusi bagi hasil ini, yaitu orang-orang yang memahami ide karya seni itu (para komposer atau pemain drama); orang-orang yang melaksanakannya (musisi atau aktor); orang-orang yang menyediakan perlengkapan dan materi yang dibutuhkan (para pembuat alat musik); dan orang-orang yang memberikan audien pemahaman karya tersebut (kritikus, ahli musik atau sastra, dan sebagainya) (Pierre Bourdieu, 2010: 10).

Ada beberapa individu dan kelompok yang membantu produksi album kompilasi, seperti Music Director (MD), Dagadu, Padepokan Bagong, Jaran Art Space, Bentara Budaya Yogyakarta, dan Sound Engineer.
Karya seni baru bisa eksis sebagai objek simbolis jika dia diakui dan dikenali. Artinya, jika dilembagakan secara sosial sebagai karya seni dan diterima oleh para penikmat yang sanggup mengenali dan mau mengakuinya sebagai karya seni (Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes, 2009: 15). Album kompilasi sudah bisa disebut objek simbolis karena sudah diakui, dikenali, dan diterima oleh pecinta musik jazz khususnya di Yogyakarta sejak tahun 2009 sampai 2013.
         Penelitian ini melihat pembentukan habitus musikal dari individu dan project pengisi album kompilasi. Pada akhirnya, konsep dari album kompilasi (ranah) membentuk habitus pada individu dan project. Penelitian ini tidak hanya terfokus pada perubahan karakteristik musikal (teks), tetapi juga pada pembentukan habitus (konteks) dari perspektif sosiologi dimana teori habitus digunakan atau bekerja.

Hasil Pembahasan
Proses produksi album kompilasi diawali dengan membahas konsep album dan menentukan Music Director (MD). Pemilihan Music Director biasanya ditentukan berdasarkan besar kecilnya kepemilikan modal kultural dan sosial. Tugas Music Director adalah individu yang menjaga benang merah konsep album kompilasi dengan cara mewajibkan setiap project untuk mengikuti progres report. Music Director berada pada posisi dominan dan memiliki modal simbolik yang besar, sedangkan individu dalam setiap project  berada dalam posisi yang terdominasi.
         Music Director di sini merupakan agen dominasi, setiap individu dan project yang mengikuti album kompilasi pada posisi terdominasi. Setiap project membuat atau mengaransemen suatu karya (lagu) sesuai konsep album dan harus mempresentasikan (progress report) kepada Music Director. Presentasi dilakukan di Mabes dan ditampilkan pada acara Jazz Mben Senen. Music Director akan memberikan masukan dan saran atas progress project yang telah dimainkan. Masukan-masukan pada progress report yang diberikan Music Director merupakan sesuatu hal yang legitimit, sehingga kekerasan simbolik kerap muncul dalam proses produksi album kompilasi. Hal ini merupakan upaya Music Director menjaga konsep album kompilasi, sehingga saran dan masukan yang diberikan dianggap benar (doxa) didukung posisi dominan yang dimiliknya.
Sosialisasi album kompilasi pertama sampai kelima dilakukan dengan cara face to face, maksudnya mengajak individu secara langsung yang dikenal (modal sosial). Individu yang sudah tergabung dalam Komunitas Jazz Jogja diperbolehkan mengajak teman yang belum tergabung dalam Komunitas Jazz Jogja. Pengisi album kompilasi tidak dituntut memiliki modal ekonomi yang besar karena pembuatan album kompilasi tidak dipungut biaya. Dana yang didapat dari sponsor dan kas Komunitas Jazz Mben Senen digunakan untuk biaya rekaman album kompilasi.
Trajektori produksi album kompilasi dapat dilihat bahwa Komunitas Jazz Jogja mengadakan rapat untuk menentukan konsep album kompilasi. Konsep album kompilasi mengkonstruksi setiap project dalam berkarya. Karya setiap project direkam di Padepokan Bagong. Dagadu mengambil bagian untuk mendesain cover album kompilasi, pendistribusian album kompilasi selain dilakukan di acara Jazz Mben Senen, Dagadu, dan Warta Jazz. Penggandaan album kompilasi menentukan tempat yang baik dan tidak memberatkan tentang hak cipta.
Perbedaan pendapat mengenai konsep, lirik, dan aransemen dapat dicari jalan keluarnya dengan diskusi yang dilakukan oleh setiap project dengan Music Director. Diskusi yang terjadi dianggap sebagai field of struggle, karena setiap project dan Music Director berjuang untuk mendapatkan modal yang lebih besar dan terbatas. Masing-masing individu pada setiap project dan Music Director berjuang mempresentasikan argumen, karya, masukan, dan saran untuk dapat diterima oleh kedua belah pihak guna kelancaran album kompilasi.
Keberhasilan album kompilasi didukung oleh banyak faktor, individu, dan kelompok. Keberhasilan album kompilasi tidak diukur dari jumlah album yang terjual tetapi dari kemampuan setiap individu dan project mengikuti konsep album kompilasi. Proses produksi album kompilasi secara tidak sadar membentuk habitus musikal bagi individu dan project pengisi album kompilasi.
Kelima album kompilasi memiliki konsep yang berbeda-beda, hal ini dapat terlihat dari karakteristik musikalnya. Karakteristik musik jazz itu sendiri adalah memiliki bagian improvisasi, swinging, dan dipengaruhi oleh blue tonality (John F. Szwed, 2000: 15). Improvisasi adalah seni mengkomposisi saat bermain, tanpa notasi, berkreativitas secara musikal, dan spontan (John F. Szwed, 2000: 34) Swinging merupakan ritmis yang mengayun, secara musikal dapat terlihat pada ketuknya menjadi triplet atau triol. Bluetonality atau blue note adalah nada yang digunakan sebagai warna melodi di luar dari not utamanya (solmisasi).
Pada album pertama terlihat kebebasan dalam bermusik dan membuat karya jazz. Pada album kedua sampai keempat dapat diindikasikan bahwa Komunitas Jazz Jogja ingin mengkolaborasikan musik jazz dengan kesenian tradisi Indonesia. Album kelima, Komunitas Jazz Jogja ingin kembali belajar musik jazz dari awal. Transisi Komunitas Jazz Jogja merupakan proses belajar dan mengeksplorasi musik jazz. Album ketiga dan keempat bisa dikatakan sebagai musik world jazz karena menggabungkan musik jazz dengan kesenian tradisional.
Karakteristik
Jazz
Album 1
Album 2
Album 3
Album 4
Album 5
Improvisasi
+
+
+
+
+
Blue Note
+
+
+
+
+
Swinging
(Ritme: triol dan sincope)
+
+
-
-
+
Gambar 1: Tabulasi Karakteristik Jazz di kelima Album Kompilasi
Keterangan: (+) = jazz ; (-) world jazz

Banyak kritikan pada album ketiga dan keempat karena dirasa kurang dalam swinging-nya yang menyebabkan ritmis jazznya sedikit hilang bahkan lenyap. Swinging dalam suatu lagu ditentukan dari swing feel dari setiap pemainnya. Komunitas Jazz Jogja khususnya pengisi album kompilasi, kebanyakan terdiri dari mahasiswa-mahasiswi luar Yogyakarta. Pengisi album kompilasi yang berstatus mahasiswa-mahasiswi ketika sudah menyelesaikan pendidikan, kebanyakan dari mereka meninggalkan Yogyakarta. Hal ini menyebabkan pengisi album kompilasi menjadi tidak tetap. Individu yang telah berproses pada setiap albumnya selalu berubah sehingga swing feel dari setiap individu tidak sama. Semakin lama individu belajar jazz maka semakin besar swing feel yang dimilikinya, sehingga karya dari album kompilasi dirasa jazz atau tidaknya akan berbeda-beda dari setiap individu.
Peran album kompilasi bagi individu dan project pengisi album kompilasi dapat diindikasikan bahwa album kompilasi tidak hanya memberikan pembelajaran secara musikal saja tetapi juga pembelajaran sosial. Pembelajaran secara musikal artinya album kompilasi memberikan wawasan dan pendidikan mengenai musik jazz dan musik tradisi Indonesia. Pembelajaran secara sosial berupa interaksi sosial, di mana relasi dengan para individu semakin bertambah dan terciptanya sistem kekeluargaan. Hal ini dapat terlihat pada saat Komunitas Jazz Jogja mengadakan acara Jazz Mben Senen dan Etawa Jazz, mereka bersama-sama bergotong royong untuk mengangkat dan menyusun alat-alat yang digunakan dalam acara tersebut. Anggota Komunitas Jazz Jogja, selain bermusik bersama, mereka juga sering melakukan kegiatan lain, seperti futsal dan berenang.
Pembentukan habitus musikal terlihat pada proses album kompilasi, di mana terdapat proses pembelajaran musikal dan interaksi sosial antar anggota Komunitas Jazz Jogja. Music Director memberikan pengajaran dan masukan melalui interaksi menghasilkan kekerasan simbolik yang diikuti oleh doxa. Modal awal yang dimiliki oleh individu dipertaruhkan dalam ranah (album kompilasi), hal ini bertujuan untuk medapatkan modal yang lebih besar dan sesuai dengan konsep album kompilasi. Interaksi sosial inilah yang membentuk habitus musikal bagi para pengisi album kompilasi. Habitus musikal yang diperoleh dari album kompilasi adalah terbentuknya habitus musikalitas jazz secara kuat dari pengisi album kompilasi tanpa melupakan kesenian tradisional Indonesia.

Kesimpulan
          Komunitas Jazz Jogja merupakan wadah berkumpul untuk belajar dan bermain musik jazz bersama tanpa melihat latar belakang akademisnya. Komunitas Jazz Jogja sering melakukan kegiatan jamming dan mengadakan festival jazz di Yogyakarta. Salah satu produk dari Komunitas Jazz Jogja yaitu album kompilasi yang dibuat satu kali setiap tahunnya. Komunitas Jazz Jogja sudah memiliki lima album kompilasi yang diproduksi dari tahun 2009 sampai 2013. 
Konsep kelima album kompilasi berbeda-beda pada setiap albumnya, hal ini terlihat dari karakteristik musikalnya. Pada album pertama, kedua, dan kelima karakteristik jazz bisa terlihat dari setiap lagu yang dibawakan masih memiliki unsur blue note, improvisasi, dan swinging yang kuat. Di album ketiga dan keempat karakteristik jazz masih terlihat pada blue note dan improvisasi tetapi swinging-nya terasa berbeda. Hal ini dikarekan pada album ketiga dan keempat menggunakan ritmis kesenian tradisional Indonesia. Ritmis jazz dan kesenian tradisional Indonesia berbeda, sehingga album ketiga dan keempat menuai banyak kritik. Musik jazz bisa dikolaborasikan dengan segala bentuk musik sehingga tercipta genre musik jazz yang baru. Album ketiga dan keempat bisa dikatakan sebagai musik world jazz karena mengkolaborasikan musik jazz dengan kesenian lokal Indonesia. Kelima album kompilasi karya Komunitas Jazz Jogja dapat ditarik ideologinya yaitu bermusik jazz tanpa melupakan kesenian tradisi Indonesia.
Proses produksi album kompilasi dilakukan pertama kali yaitu menentukan konsep dan Music Director. Perubahan konsep pada kelima album kompilasi membuat para individu dan project yang mengisi album mengikuti pola yang ada. Singkatnya, setiap individu yang tergabung dalam sebuah project terkonstruksi dan dikonstruksi oleh konsep album kompilasi. Peran Music Director sangat vital dalam proses produksi album kompilasi, karena mereka berusaha mengharmonisasikan karya setiap project dengan konsep album kompilasi. Music Director  berada pada posisi yang dominan mereka memiliki modal simbolik yang besar sehingga masukan dan saran yang diberikan menjadi hal yang legitimit.
Peran album kompilasi bagi individu dan project yaitu menambah pengalaman berkesenian dan relasi sosial. Setiap individu saling berinteraksi untuk membuat dan mengaransemen sebuah karya yang nantinya dipertunjukkan terlebih dahulu kepada Music Director, inilah yang disebut progress report. Hal ini bertujuan agar karya setiap project tidak lepas dari konsep album kompilasi yang disepakati bersama.
Modal awal yang dimiliki oleh setiap individu dilebur dalam sebuah project. Setiap project memperjuangkan modal yang dimiliki untuk mendapatkan modal yang lebih besar yaitu karya mereka bisa masuk dalam album kompilasi (ranah). Mereka saling berinteraksi untuk mendapatkan pengetahuan yang sesuai dengan album kompilasi. Proses produksi album kompilisi menghadirkan pembentukan secara sosial maupun habitus musikal. Secara sosial dapat terlihat pada rasa kekeluargaan yang dimiliki setiap individu dalam menyusun alat-alat yang digunakan dalam acara Jazz Mben Senen  dan Jazz Etawa. Pembentukan habitus musikal terlihat bahwa individu dan project sebelum mengikuti album kompilasi tidak memiliki habitus musikal jazz dan kesenian tradisional Indonesia. Proses album kompilasi membentuk individu dan project pengisi album kompilasi memiliki habitus musikal jazz dan kesenian tradisional Indonesia yang kuat. 




Daftar Pustaka

Bourdieu, Pierre. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Terj., Yudi Santosa. Yogyakarta: Kreasi Wacana Offset. 2010.

Harker, Richard, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes (eds). (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Terj., Pipit Maizier. Yogyakarta: Jalasutra. Cetakan kedua 2009.

Jenkins, Richard. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Terj., Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Cetakan ketiga. 2013.

Sutrisno, Mudji. Teks-teks Kunci Estetika: Filsafat Seni. Yogyakarta: Galang Press. 2005.


Szwed, John F. Memahami dan Menikmati Musik Jazz. Terj., Tubagus Heckman. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2000. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar