PEMBENTUKAN
HABITUS MUSIKAL
PADA KOMUNITAS
JAZZ JOGJA PENGISI ALBUM KOMPILASI
Pengantar
Komunitas
Jazz Jogja adalah komunitas
yang terdiri dari musisi dan pecinta musik jazz di Yogyakarta. Sejak awal terbentuknya komunitas ini konsisten menyosialisasikan
musik jazz ke semua
lapisan masyarakat, khususnya di daerah Yogyakarta. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengoreksi pandangan
mayoritas masyarakat yang memosisikan musik jazz sebagai genre musik elit
dan hanya milik kaum borjuis.
Hal ini terlihat dari mahalnya harga tiket dan megahnya
gedung yang digunakan dalam pertunjukan musik jazz, sehingga tidak semua orang
bisa menikmatinya. Fakta inilah
yang membuat identitas musik jazz menjadi musik berkelas menengah ke atas dan
berestetika tinggi.
Dengan kata lain, hadirnya Komunitas Jazz Jogja adalah bentuk perlawanan terhadap
pertujukan jazz yang elit. Komunitas Jazz Jogja membuat pertunjukan musik jazz
yang sederhana dan merakyat dengan
tujuan agar bisa dinikmati oleh semua kalangan,
di antaranya:
Jazz Gayeng, Ngayogjazz, Jazz Mben Senen,
Etawa Jazz, Jazz on The Street, dan Jazz Sunrise @the Beach. Menurut Hegel, fungsi
utama seni adalah untuk mempresentasikan yang absolut dalam bentuk indrawi (Mudji Sutrisno, 2005:
32). Komunitas ini, berkesenian dengan cara mengadakan
pertunjukan musik jazz dan mendokumentasikan karya (lagu) dari beberapa project atau band direkam ke dalam CD album kompilasi.
Album kompilasi adalah hasil perpaduan dari beberapa project dan lagu dalam sebuah CD. Album pertama berjudul Jazz
Basuki Mawa Beya (2009). Konsep
album ini adalah setiap project bebas
menciptakan karya sendiri yaitu musik jazz (all
ganre) atau jazz gaya Indonesia. Album kedua berjudul Jazz-Ing Java Sasarengan (2010).
Konsep yang diusung adalah mengaransemen lagu tradisional Jawa menggunakan
ritmis jazz. Album ketiga berjudul Lain
Ladang Lain Jazznya (2011). Konsep
album ini adalah mengaransemen lagu jazz menggunakan ritmis kesenian
tradisional Indonesia (jazz gaya Indonesia). Album keempat berjudul Panen Karya (2012). Konsep pada album
ini adalah setiap project menciptakan
sebuah karya (lagu) menggunakan ritmis Indonesia. Album kelima berjudul Study-Ing Babad Jazz (2013). Konsep album ini adalah mengaransemen
lagu jazz yang terkenal pada setiap eranya.
Perubahan
konsep pada setiap albumnya secara simetris membentuk proses kesadaran
individu dan project yang berpatisipasi pada album tersebut, dalam artian pembentukan habitus musikal
mengikuti album kompilasi. Fokus
penelitian ini pada individu dan project Komunitas
Jazz Jogja yang mengisi album
kompilasi. Individu dan project dipilih berdasarkan banyaknya
keterlibatan di dalam album kompilasi. Hal ini bertujuan
untuk melihat pembentukan habitus musikal yang terjadi pada pengisi album
kompilasi karya Komunitas Jazz Jogja.
Penelitian ini juga melihat karakteristik musikal, proses
produksi, dan peran album kompilasi terhadap pembentukan
habitus musikal bagi pengisinya (individu dan project). Buku, artikel, dan tesis yang telah ada,
sebenarnya permasalahan akan musik jazz bukan hal yang baru. Banyak penulis
yang mengangkat musik jazz sebagai objek penelitian dengan kajian dan
pengangkatan permasalah yang berbeda.
Kerangka Teori
Tesis
ini membahas tentang pembentukan habitus musikal pada individu dan project pengisi album kompilasi karya
Komunitas Jazz Jogja. Penelitian ini tidak
hanya terfokus pada
perubahan album kompilasi dari
perspektif musikologi saja, melainkan
juga melihat pembentukan habitus musikal dan proses produksi album kompilasi menggunakan
perspektif sosiologi. Hal ini membuat
peneliti menggunakan teori habitus Pierre
Bourdieu untuk melihat pembentukan habitus musikal pengisi album
kompilasi.
Produksi
kultural dihasilkan
oleh individu dalam suatu ranah sosial. Individu itu sendiri memiliki
habitus yang tercipta dari disposisi-disposisi mereka dimulai dari kanak-kanak pada
suatu ranah. Habitus
dibentuk melalui pendidikan dan interaksi
antara individu yang mendiami suatu
ruang sosial (Richard Jenkins, 2013:
108-109). Singkatnya,
habitus merupakan tindakan atau sikap yang terakumulasi dan
dinamis mengikuti ranah sosial, sehingga habitus setiap individu berbeda-beda.
Produk
habitus bersifat spesifik dan beradaptasi
dengan ranah. Ranah merupakan sistem
sosial yang bersifal relasional antara posisi objektif (Richard Jenkins, 2013:
124-125). Pada ranah
terdapat perjuangan untuk memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses
terbatas (field of stuggle). Proses produksi album
kompilasi Komunitas Jazz Jogja dipandang sebagai suatu ranah di mana terjadi
perjuangan atau manuver. Para individu yang tergabung dalam suatu project berjuang
memproduksi karya untuk bisa berpatisipasi dan masuk dalam album kompilasi.
Para individu yang telah memiliki modal tetap harus
menyesuaikan konsep album kompilasi. Ada empat
katagori modal,
yaitu modal
ekonomi, modal sosial (berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain yang
bermakna), modal kultural (pengetahuan sah satu sama lain), dan modal simbolis
(prestise dan gengsi sosial) (Richard
Harker, Cheelen Mahar, dan Chris
Wilkes, 2009: 17). Peneliti
melihat keempat modal pada setiap individu dengan tujuan
untuk melihat pembentukan
habitus musikal dari perubahan karakteristik musikal dan proses
produksi album kompilasi.
Individu yang memiliki modal simbolis besar (dominan) akan
mengisyaratkan tindakan eksplisit
maupun implisit kepada individu yang memiliki modal
simbolis kecil (terdominasi).
Individu terdominasi akan
mengikuti tindakan atau perintah dari individu dominan karena dianggap sesuatu yang legitimit.
Tindakan atau perintah kerap diikuti oleh kekerasan
simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan
dalam bentuk sangat halus yang diberikan
pada individu tanpa mengundang
resistensi, tetapi malah mengundang
konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat
halus (Richard
Harker, Cheelen Mahar, dan Chris
Wilkes, 2009: xxi).
Kekerasan
simbolik dipengaruhi oleh
doxa yang cenderung mengatur kehidupan sosial. Doxa itu sendiri merupakan kestabilan dan keterikatan tatanan sosial dalam diri individu pada
tradisi, serta terdapat
kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan (Richard
Harker, Cheelen Mahar, dan Chris
Wilkes, 2009: xxi). Singkatnya, doxa
merupakan kebenaran yang tidak dapat dipertanyakan. Pengisi album kompilasi
menganggap Music Director adalah
orang yang bertugas menjaga benang merah album kompilasi dan memiliki kemampuan
bermusik yang baik. Hal ini membuat pengisi album kompilasi membenarkan saran
yang diberikan Music Director guna
kelancaran album kompilasi.
Korelasi
habitus dengan modal menghasilkan suatu praktik pada suatu ranah sosial. Hal ini terjadi
karena seluruh kehidupan sosial pada dasarnya bersifat praktis (Richard Jenkins, 2013:
96). Pernyataan ini dianalogikan
bahwa praktik tidak bekerja pada ruangan yang kosong. Relasi antara habitus
dengan modal, praktik, doxa, kekerasan simbolik, dan kekuasaan simbolik dalam
suatu ranah. Secara
ringkas, Bourdieu menyatakan rumusan generative yaitu: (Habitus x Modal) +
Ranah = Praktik (Richard
Harker, Cheelen Mahar, dan Chris
Wilkes, 2009: xxi). Pada
penelitian ini, praktik berada pada Jaran
Art Space, Bentara Budaya Yogyakarta, dan Padepokan Bagong yang digunakan
pada proses produksi album kompilasi.
Pierre Bourdieu dalam karyanya berjudul Arena Produksi Kultural berbicara
tentang suatu karya yang tercipta karena adanya relasi-relasi yang objektif
pada suatu ranah. Karya seni tidak tercipta dari kreasi senimannya saja, banyak individu atau
kelompok yang berpatisipasi didalamnya, Bourdieu berpendapat bahwa:
Penyelidikan harus ditingkatkan kepada
semua pihak yang turut memberikan kontribusi bagi hasil ini, yaitu orang-orang
yang memahami ide karya seni itu (para komposer
atau pemain drama); orang-orang yang melaksanakannya (musisi atau aktor);
orang-orang yang menyediakan perlengkapan dan materi yang dibutuhkan (para
pembuat alat musik); dan orang-orang yang memberikan audien pemahaman karya
tersebut (kritikus, ahli musik atau sastra, dan sebagainya) (Pierre Bourdieu, 2010: 10).
Ada beberapa
individu dan kelompok yang membantu produksi album kompilasi, seperti Music Director (MD), Dagadu, Padepokan
Bagong, Jaran Art Space, Bentara Budaya Yogyakarta, dan Sound Engineer.
Karya seni
baru bisa eksis sebagai objek simbolis jika dia diakui dan dikenali. Artinya, jika dilembagakan secara sosial
sebagai karya seni dan diterima oleh para penikmat yang sanggup mengenali dan
mau mengakuinya sebagai karya seni (Richard
Harker, Cheelen Mahar, dan Chris
Wilkes, 2009: 15). Album
kompilasi sudah bisa disebut
objek simbolis karena sudah diakui, dikenali, dan diterima oleh pecinta musik
jazz khususnya di Yogyakarta sejak tahun
2009 sampai 2013.
Penelitian ini melihat pembentukan habitus musikal dari
individu dan project pengisi album
kompilasi. Pada
akhirnya, konsep dari album kompilasi (ranah)
membentuk habitus pada individu dan project. Penelitian ini tidak hanya terfokus
pada perubahan karakteristik musikal (teks), tetapi juga pada pembentukan habitus (konteks) dari perspektif
sosiologi dimana teori habitus digunakan atau bekerja.
Hasil Pembahasan
Proses produksi album kompilasi diawali dengan membahas
konsep album dan menentukan Music
Director (MD). Pemilihan Music
Director biasanya ditentukan berdasarkan besar kecilnya kepemilikan modal
kultural dan sosial. Tugas Music Director
adalah individu yang menjaga benang merah konsep album kompilasi dengan
cara mewajibkan setiap project untuk
mengikuti progres report. Music Director berada
pada posisi dominan dan memiliki modal simbolik yang besar, sedangkan individu
dalam setiap project berada dalam posisi yang terdominasi.
Music
Director di sini merupakan agen
dominasi, setiap individu dan project
yang mengikuti album kompilasi pada posisi terdominasi. Setiap project membuat atau mengaransemen suatu
karya (lagu) sesuai konsep album dan harus mempresentasikan (progress report) kepada Music Director. Presentasi dilakukan di
Mabes dan ditampilkan pada acara Jazz
Mben Senen. Music Director akan
memberikan masukan dan saran atas progress
project yang telah dimainkan. Masukan-masukan pada progress report yang diberikan Music
Director merupakan sesuatu hal yang legitimit, sehingga kekerasan simbolik
kerap muncul dalam proses produksi album kompilasi. Hal ini merupakan upaya Music Director menjaga konsep album
kompilasi, sehingga saran dan masukan yang diberikan dianggap benar (doxa)
didukung posisi dominan yang dimiliknya.
Sosialisasi album kompilasi pertama sampai kelima
dilakukan dengan cara face to face,
maksudnya mengajak individu secara langsung yang dikenal (modal sosial).
Individu yang sudah tergabung dalam Komunitas Jazz Jogja diperbolehkan mengajak
teman yang belum tergabung dalam Komunitas Jazz Jogja. Pengisi album kompilasi
tidak dituntut memiliki modal ekonomi yang besar karena pembuatan album
kompilasi tidak dipungut biaya. Dana yang didapat dari sponsor dan kas
Komunitas Jazz Mben Senen digunakan
untuk biaya rekaman album kompilasi.
Trajektori produksi album kompilasi dapat dilihat bahwa Komunitas Jazz
Jogja mengadakan rapat untuk menentukan konsep album kompilasi. Konsep album
kompilasi mengkonstruksi setiap project dalam
berkarya. Karya setiap project direkam
di Padepokan Bagong. Dagadu mengambil bagian untuk mendesain cover album
kompilasi, pendistribusian album kompilasi selain dilakukan di acara Jazz Mben Senen, Dagadu, dan Warta Jazz.
Penggandaan album kompilasi menentukan tempat yang baik dan tidak memberatkan
tentang hak cipta.
Perbedaan pendapat mengenai konsep, lirik, dan aransemen dapat dicari jalan
keluarnya dengan diskusi yang dilakukan oleh setiap project dengan Music Director.
Diskusi yang terjadi dianggap sebagai
field of struggle, karena setiap project
dan Music Director berjuang untuk
mendapatkan modal yang lebih besar dan terbatas. Masing-masing individu pada
setiap project dan Music Director berjuang mempresentasikan
argumen, karya, masukan, dan saran untuk dapat diterima oleh kedua belah pihak
guna kelancaran album kompilasi.
Keberhasilan album kompilasi didukung oleh banyak faktor, individu, dan
kelompok. Keberhasilan album kompilasi tidak diukur dari jumlah album yang
terjual tetapi dari kemampuan setiap individu dan project mengikuti konsep album kompilasi. Proses produksi album kompilasi secara tidak sadar
membentuk habitus musikal bagi individu dan project
pengisi album kompilasi.
Kelima album kompilasi memiliki konsep yang berbeda-beda, hal ini dapat
terlihat dari karakteristik musikalnya. Karakteristik musik jazz itu sendiri
adalah memiliki bagian improvisasi, swinging, dan dipengaruhi oleh blue tonality (John
F. Szwed, 2000: 15). Improvisasi adalah seni mengkomposisi
saat bermain, tanpa notasi, berkreativitas secara musikal, dan spontan (John
F. Szwed, 2000: 34) Swinging merupakan ritmis yang mengayun,
secara musikal dapat terlihat pada
ketuknya menjadi triplet atau triol. Bluetonality atau blue note adalah
nada yang digunakan sebagai warna melodi di luar dari not utamanya (solmisasi).
Pada album pertama terlihat kebebasan dalam bermusik dan membuat karya
jazz. Pada album kedua sampai keempat dapat diindikasikan bahwa Komunitas Jazz
Jogja ingin mengkolaborasikan musik jazz dengan kesenian tradisi Indonesia.
Album kelima, Komunitas Jazz Jogja ingin kembali belajar musik jazz dari awal.
Transisi Komunitas Jazz Jogja merupakan proses belajar dan mengeksplorasi musik
jazz. Album ketiga dan keempat bisa dikatakan sebagai musik world jazz karena menggabungkan musik
jazz dengan kesenian tradisional.
Karakteristik
Jazz
|
Album 1
|
Album 2
|
Album 3
|
Album 4
|
Album 5
|
Improvisasi
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Blue Note
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Swinging
(Ritme: triol
dan sincope)
|
+
|
+
|
-
|
-
|
+
|
Gambar 1: Tabulasi
Karakteristik Jazz di kelima Album Kompilasi
Keterangan: (+) = jazz ; (-) world jazz
Banyak kritikan pada album ketiga dan keempat karena dirasa kurang dalam swinging-nya yang menyebabkan ritmis
jazznya sedikit hilang bahkan lenyap. Swinging
dalam suatu lagu ditentukan dari swing
feel dari setiap pemainnya. Komunitas Jazz Jogja khususnya pengisi album
kompilasi, kebanyakan terdiri dari mahasiswa-mahasiswi luar Yogyakarta. Pengisi
album kompilasi yang berstatus mahasiswa-mahasiswi ketika sudah menyelesaikan
pendidikan, kebanyakan dari mereka meninggalkan Yogyakarta. Hal ini menyebabkan
pengisi album kompilasi menjadi tidak tetap. Individu yang telah berproses pada
setiap albumnya selalu berubah sehingga swing
feel dari setiap individu tidak sama. Semakin lama individu belajar jazz
maka semakin besar swing feel yang
dimilikinya, sehingga karya dari album kompilasi dirasa jazz atau tidaknya akan
berbeda-beda dari setiap individu.
Peran album kompilasi bagi individu dan project
pengisi album kompilasi dapat diindikasikan bahwa album kompilasi tidak
hanya memberikan pembelajaran secara musikal saja tetapi juga pembelajaran
sosial. Pembelajaran secara musikal artinya album kompilasi memberikan wawasan
dan pendidikan mengenai musik jazz dan musik tradisi Indonesia. Pembelajaran
secara sosial berupa interaksi sosial, di mana relasi dengan para individu
semakin bertambah dan terciptanya sistem kekeluargaan. Hal ini dapat terlihat
pada saat Komunitas Jazz Jogja mengadakan acara Jazz Mben Senen dan Etawa
Jazz, mereka bersama-sama bergotong royong untuk mengangkat dan menyusun
alat-alat yang digunakan dalam acara tersebut. Anggota Komunitas Jazz Jogja,
selain bermusik bersama, mereka juga sering melakukan kegiatan lain, seperti futsal dan berenang.
Pembentukan habitus musikal terlihat pada proses album
kompilasi, di mana terdapat proses pembelajaran musikal dan interaksi sosial
antar anggota Komunitas Jazz Jogja. Music
Director memberikan pengajaran dan masukan melalui interaksi menghasilkan
kekerasan simbolik yang diikuti oleh doxa. Modal awal yang dimiliki oleh
individu dipertaruhkan dalam ranah (album kompilasi), hal ini bertujuan untuk
medapatkan modal yang lebih besar dan sesuai dengan konsep album kompilasi.
Interaksi sosial inilah yang membentuk habitus musikal bagi para pengisi album
kompilasi. Habitus musikal yang diperoleh dari album kompilasi adalah
terbentuknya habitus musikalitas jazz secara kuat dari pengisi album kompilasi
tanpa melupakan kesenian tradisional Indonesia.
Kesimpulan
Komunitas Jazz Jogja merupakan wadah berkumpul untuk
belajar dan bermain musik jazz bersama tanpa melihat latar belakang
akademisnya. Komunitas Jazz Jogja sering melakukan kegiatan jamming dan mengadakan festival jazz di
Yogyakarta. Salah satu produk dari Komunitas Jazz Jogja yaitu album kompilasi
yang dibuat satu kali setiap tahunnya. Komunitas Jazz Jogja sudah memiliki lima
album kompilasi yang diproduksi dari tahun 2009 sampai 2013.
Konsep kelima album kompilasi berbeda-beda pada setiap albumnya, hal ini
terlihat dari karakteristik musikalnya. Pada album pertama, kedua, dan kelima
karakteristik jazz bisa terlihat dari setiap lagu yang dibawakan masih memiliki
unsur blue note, improvisasi, dan swinging yang kuat. Di album ketiga dan
keempat karakteristik jazz masih terlihat pada blue note dan improvisasi tetapi swinging-nya terasa berbeda. Hal ini dikarekan pada album ketiga
dan keempat menggunakan ritmis kesenian tradisional Indonesia. Ritmis jazz dan
kesenian tradisional Indonesia berbeda, sehingga album ketiga dan keempat
menuai banyak kritik. Musik jazz bisa
dikolaborasikan dengan segala bentuk musik sehingga tercipta genre musik jazz yang baru. Album ketiga
dan keempat bisa dikatakan sebagai musik world
jazz karena mengkolaborasikan musik jazz dengan kesenian lokal Indonesia.
Kelima album kompilasi karya Komunitas Jazz Jogja dapat ditarik ideologinya yaitu
bermusik jazz tanpa melupakan kesenian tradisi Indonesia.
Proses produksi album kompilasi dilakukan pertama kali yaitu menentukan
konsep dan Music Director. Perubahan
konsep pada kelima album kompilasi membuat para individu dan project yang mengisi album mengikuti
pola yang ada. Singkatnya, setiap individu yang tergabung dalam sebuah project terkonstruksi dan dikonstruksi
oleh konsep album kompilasi. Peran Music
Director sangat vital dalam proses produksi album kompilasi, karena mereka
berusaha mengharmonisasikan karya setiap project
dengan konsep album kompilasi. Music
Director berada pada posisi yang
dominan mereka memiliki modal simbolik yang besar sehingga masukan dan saran
yang diberikan menjadi hal yang legitimit.
Peran album kompilasi bagi individu dan project
yaitu menambah pengalaman berkesenian dan relasi sosial. Setiap individu
saling berinteraksi untuk membuat dan mengaransemen sebuah karya yang nantinya
dipertunjukkan terlebih dahulu kepada Music
Director, inilah yang disebut progress
report. Hal ini bertujuan agar karya setiap project tidak lepas dari konsep album kompilasi yang disepakati
bersama.
Modal awal yang dimiliki oleh setiap individu dilebur dalam sebuah project. Setiap project memperjuangkan modal yang dimiliki untuk mendapatkan modal
yang lebih besar yaitu karya mereka bisa masuk dalam album kompilasi (ranah).
Mereka saling berinteraksi untuk mendapatkan pengetahuan yang sesuai dengan
album kompilasi. Proses produksi album kompilisi menghadirkan pembentukan
secara sosial maupun habitus musikal. Secara sosial dapat terlihat pada rasa
kekeluargaan yang dimiliki setiap individu dalam menyusun alat-alat yang
digunakan dalam acara Jazz Mben Senen dan Jazz
Etawa. Pembentukan habitus musikal terlihat bahwa individu dan project sebelum mengikuti album
kompilasi tidak memiliki habitus musikal jazz dan kesenian tradisional
Indonesia. Proses album kompilasi membentuk individu dan project pengisi album kompilasi memiliki habitus musikal jazz dan
kesenian tradisional Indonesia yang kuat.
Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian
Sosiologi Budaya. Terj., Yudi Santosa. Yogyakarta: Kreasi Wacana Offset.
2010.
Harker,
Richard, Cheelen Mahar, dan Chris
Wilkes (eds). (Habitus x Modal) + Ranah =
Praktik: Pengantar
Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Terj.,
Pipit Maizier. Yogyakarta: Jalasutra.
Cetakan kedua 2009.
Jenkins, Richard. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Terj.,
Nurhadi.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Cetakan ketiga.
2013.
Sutrisno, Mudji.
Teks-teks Kunci
Estetika: Filsafat Seni. Yogyakarta:
Galang Press.
2005.
Szwed, John F.
Memahami dan Menikmati
Musik Jazz. Terj.,
Tubagus Heckman. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar