Kamis, 30 Oktober 2014

PENGAJAR VS SISTEM PENGAJARAAN

PENGAJAR VS SISTEM PENGAJARAN


          Banyak pendidikan formal maupun non-formal, mengajarkan kepada anak didik bahwa musik itu memiliki empat unsur, yaitu: nada, dinamika, timbre, dan tempo. Secara akademis, hal ini dibenarkan karena musik lekat dengan nada, dinamika, timbre, dan tempo. Para akademisi membenarkan hal tersebut dan mengagungkan keempat unsur yang membentuk musik. Musik tidak hanya berbicara tentang sebuah instrumen, karena tanpa intrumen pun, musik bisa tercipta seperti A Cappella. A Cappella yaitu paduan suara tanpa iringan alat musik (Pono Banoe, 2011: 17). Berbicara paduan suara, secara umum satu paduan suara biasanya terdiri dalam kelompok kecil yaitu sopran, alto, tenor, dan bass.
Pada sebuah kampus yang berdiri berdasarkan agama, pengajar (dosen) dan kelompok paduan suara (mahasiswa/i) memainkan sebuah repertoar didasari untuk kemuliaan Tuhan. Hal ini dapat terlihat seberapa rohoninya paduan suara yang terkonstruk pada sebuah kampus ini. Hal ini lekat dengan abad pertengahan, refleksi estetis adalah Allah sendiri (Matius Ali, 2011: 4). Korelasi kampus yang bisa dikatakan lekat dengan agama dengan kelompok paduan suara, membuat karya dari kelompok paduan suara ini sangat lekat dengan apa yang disebut dengan “lagu rohani”.
Sering kita mendengar pepatah, yaitu: Paduan suara yang buruk, dikarenakan memiliki pengajarnya/kondakter yang buruk. Hal ini mungkin yang dipegang teguh oleh seorang pengajar paduan suara (dosen) di sebuah kampus swasta di Yogyakarta. Pengajar paduan suara (dosen) mengajari repetor yang bisa dikatakan rohani, tetapi ada sisi hitam yang ada dalam proses pengajarannya. Rasionalitas mendominasi ilmu pengetahuan dan teknoligi dalam arena sosial (K. Bertens, 2001:15). Jika ilmu pengetahuan khususnya musik (paduan suara) diajarkan dengan kekerasan fisik dan cacian, dimanakah posisi rasionalitas seorang pengajar? Pengajar mulai mengkonstruksi mahasiswa/i untuk bernyanyi yang baik menurut sang pengajar (dosen) dengan berbagai cara. Kata-kata kotor dan kekerasan secara fisik sering terjadi. Repertoar rohani (surgawi), diajarkan dengan cara yang kasar (neraka).
Jika kesalahan terdapat di kelompok bass, satu mahasiswa yang salah makan satu kelompok bass dipukul. Apakah sistem pembelajaran ini layak diaplikasikan pada universitas yang berdiri berdasarkan agama? Apakah repertoar rohani (surgawi) pantas diajarkan dengan kekerasan (neraka)? Jika iya, mungkin surga dan neraka kini telah mengubah prosedur yang biasanya dijalankan. Wawancara singkat dengan beberapa mahasiswa yang bisa dikatakan menjadi korban, ia berkata:
 “Iyo mas, kalau satu orang salah ya satu kelompok dipukul mukanya pakai tangan. Nah..satu orang yang salah ini, dipukul sampai hampir jatuh. Pengajarnya sering bilang kata-kata kasar. Kita suka bingung, kita kuliah bayar tapi ko malah dipukulin terus.”
Menurut Plato, pendidikan musik harus diberikan sedini mungkin (Sukatmi Susantina, 2004: 121-122), jika hal ini benar, biarlah pendidikan musik berhenti karena diajarkan dengan kekerasan fisik dan cacian.
          Permasalah yang timbul dari pengajaran dengan kekerasan fisik dan cacian, bisa mengkonstruksi mahasiswa/i melakukan tindakan yang sama pada saat kelak mereka mengajar. Hal ini disebabkan, pembentukan habitus yang terjadi pada proses pengajaran. Habitus itu sendiri terkonstruksi dari pengetahuan (pendidikan) dan relasi pada sebuah ranah sosial (Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chirs Wilkes, 2009: 13-14). Pengetahuan yang didapat oleh mahasiswa/i akan mengkonstruk mereka dengan apa yang mereka dapat di kampus. Efek singkat pengajaran seperti ini bisa terlihat setelah selesai perkuliahan paduan suara, bahanya mahasiswa/i mengutuk dan mengeluarkan kata-kata kotor untuk pengajarnya (dosen).
          Pengajar paduan suara (dosen) hendaknya mengajarkan musik dengan baik. Pengajar yang baik bukan sekedar memiliki kemampuan musik yang baik, tetapi juga harus memiliki sifat atau attitude yang benar. Ajaran agama menuntut manusia untuk dapat masuk dalam alam rohani yang tidak terbatas (Jacob Sumardjo, 2000: 8). Bagaimana manusia (mahasiswa/i) dapat memasuki alam rohani yang tidak terbatas, jika proses pembelajaran untuk memasukinya dibatasi dengan kekerasan fisik dan cacian? Paduan suara dibentuk untuk menyanyikan repertoar untuk kemulian Tuhan, hendaknya diajarkan dengan “kasih”. Pengajaran paduan suara yang membawakan repertoar untuk kemuliaan Tuhan lekat dengan kekerasan fisik dan cacian, apakah karya mereka berkenan di hadapan Tuhan? Pengajar yang baik hendaknya membagikan apa yang dimilikinya dan belajar dari anak didiknya, bukan hanya memaksakan kepada anak didik untuk menerima semua yang dimilikinya.





DAFTAR PUSTAKA

Ali, Matius. Estetika: Pengamatan Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxor. Cetakan           Ketiga. 2011.
Banoe, Pono. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius. Cetakan Keenam. 2011.
Bertens. K. Perspektif Etika: Esai-esai Tentang Masalah Aktual. Yogyakarta:                   Kanisius. 2001.
Harker, Richard, Cheelen Mahar, dan Chirs Wilkes. (Habitus x Modal) + Ranah =           Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu.           Terj., Pipit Maizer. Yogyakarta: Jalasutra. Cetakan Kedua. 2009.
Sumardjo, Jacob. Filsafat Seni. Bandung: ITB. 2000.
Susantina, Sukatmi. Nada-nada Radikal: Perbincangan Para Filusuf Tentang                 Musik. Yogyakarta: Panta Rhei. 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar