PENGAJAR VS SISTEM PENGAJARAN

Pada sebuah kampus
yang berdiri berdasarkan agama, pengajar (dosen) dan kelompok paduan suara (mahasiswa/i)
memainkan sebuah repertoar didasari untuk kemuliaan Tuhan. Hal ini dapat
terlihat seberapa rohoninya paduan suara yang terkonstruk pada sebuah kampus
ini. Hal ini lekat dengan abad pertengahan, refleksi estetis adalah Allah
sendiri (Matius Ali, 2011: 4). Korelasi kampus yang bisa dikatakan lekat dengan
agama dengan kelompok paduan suara, membuat karya dari kelompok paduan suara
ini sangat lekat dengan apa yang disebut dengan “lagu rohani”.
Sering kita mendengar
pepatah, yaitu: Paduan suara yang buruk, dikarenakan memiliki
pengajarnya/kondakter yang buruk. Hal ini mungkin yang dipegang teguh oleh
seorang pengajar paduan suara (dosen) di sebuah kampus swasta di Yogyakarta.
Pengajar paduan suara (dosen) mengajari repetor yang bisa dikatakan rohani,
tetapi ada sisi hitam yang ada dalam proses pengajarannya. Rasionalitas mendominasi
ilmu pengetahuan dan teknoligi dalam arena sosial (K. Bertens, 2001:15). Jika ilmu
pengetahuan khususnya musik (paduan suara) diajarkan dengan kekerasan fisik dan
cacian, dimanakah posisi rasionalitas seorang pengajar? Pengajar mulai
mengkonstruksi mahasiswa/i untuk bernyanyi yang baik menurut sang pengajar (dosen)
dengan berbagai cara. Kata-kata kotor dan kekerasan secara fisik sering
terjadi. Repertoar rohani (surgawi), diajarkan dengan cara yang kasar (neraka).
Jika kesalahan
terdapat di kelompok bass, satu mahasiswa yang salah makan satu kelompok bass
dipukul. Apakah sistem pembelajaran ini layak diaplikasikan pada universitas
yang berdiri berdasarkan agama? Apakah repertoar rohani (surgawi) pantas
diajarkan dengan kekerasan (neraka)? Jika iya, mungkin surga dan neraka kini
telah mengubah prosedur yang biasanya dijalankan. Wawancara singkat dengan
beberapa mahasiswa yang bisa dikatakan menjadi korban, ia berkata:
“Iyo
mas, kalau satu orang salah ya satu kelompok dipukul mukanya pakai tangan. Nah..satu
orang yang salah ini, dipukul sampai hampir jatuh. Pengajarnya sering bilang
kata-kata kasar. Kita suka bingung, kita kuliah bayar tapi ko malah dipukulin terus.”
Menurut Plato, pendidikan musik harus
diberikan sedini mungkin (Sukatmi Susantina, 2004: 121-122), jika hal ini
benar, biarlah pendidikan musik berhenti karena diajarkan dengan kekerasan
fisik dan cacian.
Permasalah
yang timbul dari pengajaran dengan kekerasan fisik dan cacian, bisa mengkonstruksi
mahasiswa/i melakukan tindakan yang sama pada saat kelak mereka mengajar. Hal
ini disebabkan, pembentukan habitus yang terjadi pada proses pengajaran. Habitus
itu sendiri terkonstruksi dari pengetahuan (pendidikan) dan relasi pada sebuah
ranah sosial (Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chirs Wilkes, 2009: 13-14). Pengetahuan
yang didapat oleh mahasiswa/i akan mengkonstruk mereka dengan apa yang mereka
dapat di kampus. Efek singkat pengajaran seperti ini bisa terlihat setelah
selesai perkuliahan paduan suara, bahanya mahasiswa/i mengutuk dan mengeluarkan
kata-kata kotor untuk pengajarnya (dosen).
Pengajar
paduan suara (dosen) hendaknya mengajarkan musik dengan baik. Pengajar yang
baik bukan sekedar memiliki kemampuan musik yang baik, tetapi juga harus
memiliki sifat atau attitude yang benar.
Ajaran agama menuntut manusia untuk dapat masuk dalam alam rohani yang tidak
terbatas (Jacob Sumardjo, 2000: 8). Bagaimana manusia (mahasiswa/i) dapat
memasuki alam rohani yang tidak terbatas, jika proses pembelajaran untuk
memasukinya dibatasi dengan kekerasan fisik dan cacian? Paduan suara dibentuk
untuk menyanyikan repertoar untuk kemulian Tuhan, hendaknya diajarkan dengan “kasih”.
Pengajaran paduan suara yang membawakan repertoar untuk kemuliaan Tuhan lekat dengan
kekerasan fisik dan cacian, apakah karya mereka berkenan di hadapan Tuhan?
Pengajar yang baik hendaknya membagikan apa yang dimilikinya dan belajar dari
anak didiknya, bukan hanya memaksakan kepada anak didik untuk menerima semua
yang dimilikinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Matius. Estetika: Pengamatan Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxor. Cetakan Ketiga. 2011.
Banoe, Pono. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius. Cetakan Keenam. 2011.
Bertens. K. Perspektif Etika: Esai-esai Tentang Masalah
Aktual. Yogyakarta: Kanisius. 2001.
Harker, Richard, Cheelen Mahar, dan Chirs Wilkes.
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada
Pemikiran Pierre Bourdieu. Terj., Pipit Maizer. Yogyakarta: Jalasutra. Cetakan Kedua. 2009.
Sumardjo, Jacob. Filsafat Seni. Bandung: ITB.
2000.
Susantina, Sukatmi. Nada-nada Radikal:
Perbincangan Para Filusuf Tentang Musik. Yogyakarta: Panta Rhei. 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar