Kamis, 30 Oktober 2014

Sejarah Jazz di Indonesia

Sejarah Jazz di Indonesia

Awal mula musik Barat masuk ke Indonesia dibawa oleh bangsa Portugis di Maluku. Nyanyian Gregorian dinyanyikan selama Misa Penerimaan Maria Tak Ternoda yang diadakan pada tanggal 15 Agustus 1549, yaitu Gloria in Exelcis Deo.[1] Hal ini memberikan pengertian bahwa skala diatonik sudah masuk ke Indonesia semenjak tahun 1549. Perkembangan musik jazz sampai ke Indonesia dibawa oleh kolonial Belanda, dan dimainkan di daerah perkebunan. Mengenai hal tersebut, Arifianto menyebutkan bahwa:
Secara historis musik jazz di Indonesia dibawa dan dikembangkan oleh kebudayaan Barat, yakni oleh Kolonial Belanda, pada akhir tahun 1928-1930-an. Musik jazz masuk pertama kali di Indonesia dari daerah perkebunan. Di berbagai perusahaan perkebunan itu oleh penjajah dibentuk hiburan salah satu diantaranya musik jazz. Musik jazz yang masuk ke Indonesia cenderung ke arah musik jazz versi dansa, yang biasa digunakan oleh perkumpulan kaum pedagang Belanda ketika itu.[2]

Hal ini juga dikemukakan oleh Yapi Tambayong dalam karyanya yang berjudul 123 Ayat tentang Seni, meyebutkan:
Jazz sendiri sudah menjadi pilihan musik hiburan di Indonesia sejak 1920an. Salah seorang tokoh penting di bidang ini yang diapresiasikan masyarakat dari sudut pandang kebangsaan adalah Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu Indonesa Raya. Sejak 1925 Wage bermain musik jazz dengan bandnya Black and White di kazerne Makasar mengiringi dansa para perwira tentara Belanda. Salah satu lagu yang dimainkan secara jazz dengan Wage adalah bahasa Belanda-Indo “lekka-lekka, pinda-pinda”, artinya “enak-enak, kacang-kacang”. Dari lagu ini pula Wage mengubahnya menjadi “Indoness, Indoness” dan sempat direkam sebagai piringan hitam pada 1927 di Hongkong. Sebelum diperdengarkan dalam Kongres Pemuda pada tahun 1928, Bung Karno mengusulkan untuk mengubahnya menjadi “Indonesia Raya”.[3]
Musik jazz dibawa oleh koloni Belanda ke Indonesia. Mereka gunakan musik jazz sebagai musik hiburan bagi kaum pedagang dan perwira Belanda yang ada di Indonesia. Korelasi antara orang Belanda dan orang Indonesia dalam bermusik membawa dampak pada lagu kebangsaan Indonesia yaitu asal muasal lagu Indonesia Raya yang merupakan musik jazz bergenre Swing dengan semangat march. Peneliti melakukan wawancara dengan Tomi Sumirah, pelaku jazz di Yogyakarta tahun 80-an, ia mengatakan bahwa:
Orang-orang Belanda menyukai musik jazz yang riang. Ya...suka yang berirama Waltz, March, Polka, dan Swing karena dipake buat pengiring orang dansa.[4]

Musik jazz terus berkembang dan diminati orang Indonesia. Mereka membentuk kelompok musik yang disebuat MUANI. Inilah kelompok musik jazz pertama di Indonesia. Arifianto menyatakan:
Dengan masuknya musik jazz ke Indonesia mulailah para pemusik Indonesia menyerap jenis musik tersebut. Kelompok musik jazz pertama adalah “Musik Anak Nasional Indonesia” Muani yang dibentuk pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, yang kemudian muncul para tokoh musik jazz muda seperti Mus Mualim, dan Eddy Karamoy. Pada pendudukan Jepang semua jenis musik jazz dilarang untuk konser dan pertujukan lainnya.[5]

Musik jazz yang dimainkan oleh kelompok MUANI tidak jauh beda dengan musik jazz yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia yaitu musik jazz versi dansa. Pertunjukan musik jazz dilarang pada masa Jepang karena penjajah Jepang mempunyai kebijakan yang disebut Misi Suci yaitu melawan imperialisme Barat dalam setiap aspek termasuk kebudayaan.[6] Jepang melarang dan menghapus semua unsur kebudayaan Barat yang ada di Indonesia, termasuk musik jazz.
Mulai tahun 1959, musik jazz mengalami kemunduran lagi karena perintah Presiden Ir. Soekarno menentang apapun yang berasal dari Barat. Hal ini disebabkan karena kebudayaan Barat berkembang pesat di Indonesia. Hikmat Budiman, dalam karyanya yang berjudul Lubang Hitam Kebudayaan, menyatakan:
Berpidato dalam peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno bahkan secara terang-terangan mengutuk musik “ngak ngik ngok”…. Nasib yang sama juga menimpa film-film Barat yang dituduh sebagai bagian dari propaganda neokolonialisme dan imperialisme.[7]

Gerakan budaya yang digencarkan Bung Karno adalah menggiatkan musik yang mewakili tata krama budaya timur yaitu irama Lenso.[8] Irama Lenso adalah bentuk musik pada iringan tarian Lenso yang berasal dari Ambon. Peraturan ini menghasilkan album kompilasi yang berjudul Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso yang dirilis pada tanggal 14 April 1965, terdiri dari lagu Bersuka Ria, Soleram, Burung Kakatua, Gelang Sipaku Gelang, Bengawan Solo, Euis, Malam Bainai, dan Gendjer-gendjer. Lagu-lagu ini dimainkan oleh grup yang bernama The Lensoist.[9]      
Perkembangan jazz mulai memperlihatkan eksistensinya pada tahun 1966, muncul Indonesian All Stars yang terdiri dari musisi jazz ternama seperti Bubi Chen (piano), Maryono (saxophone atau klarinet), Yopie Chen (bass), Benny Mustafa (drum) dan Jack Lesmana (gitar). Indonesian All Stars mengangkat citra Indonesia di mata dunia. Kelompok ini pernah diundang di Australia, Amerika Serikat, dan Jerman. Indonesian All Stars juga mengaransemen lagu-lagu tradisional Indonesia di Jerman. Danny Sakrie dalam karyanya yang berjudul Musisiku, menyatakan:
Alhasil muncullah album Djanger Bali yang mereka rekam di MPS Studio Villingen Black Forest, Jerman, selama dua hari berturut-turut, 27 dan 28 Oktober 1967. Album ini berisi empat lagu tradisional Indonesia, yaitu ilir-ilir, Burung Kakatua, Gambang Suling, dan Djanger Bali.[10]

Sekitar tahun 1980-1990, musik jazz genre Fusion Jazz berkembang karena grup musik seperti Krakatau, Karimata, Bhaskara, dan Emerald sering mengisi layar kaca TVRI.[11] Banyak orang Indonesia yang sudah tertarik dengan musik jazz. Indonesia pernah menjadi tuan rumah festival jazz internasional. Mengenai hal ini Liz Wiwiek W menyatakan:
Indonesia pernah menjadi tuan rumah Jakarta International Jazz Festival 88 atau Jak Jazz 88 pada bulan November 1988. Festival ini dimeriahkan sekitar 14 negara, termasuk bintang jazz Amerika Serikat Lee Ritenour, dan vokalis Phil Perry, serta gitaris top Jepang Kamuzi Watanabe. Kesempatan seperti ini diharapkan dapat lebih memasyarakatkan musik jazz di Indonesia.[12]

Sampai saat ini, musik jazz terus berkembang di Indonesia dengan baik. Banyak festival jazz yang diadakan di Indonesia, di antaranya: Jakarta International Jazz Festival (Jak Jazz), Java Jazz Festival, Jazz Goes to Campus, Jazz Mahakam, dan Ngayogjazz. Musisi-musisi jazz dan band jazz bermunculan, seperti: BLP, Abdul and The Coffee Theory, Tohpati Bertiga, Tompi, The ExtraLarge, Maliq and D’essentials, Indang Rasjidi. Banyak pula komunitas jazz di Indonesia, seperti Medan Jazz Society, Palembang Jazz Community, Batam Jazz Forum, Riau Jazz Society, Jajan Jazz, C Two Six Surabaya, Bali Jazz Forum, Jazz Lovers Pekalongan, Komunitas Jazz Jogja (KJJ), Jakarta Jazz Society, Klub Jazz Bandung, Komunitas Jazz Bandung, Komunitas Jazz Banten, Komunitas Jazz Chics, Komunitas Jazz Kemayoran, UN Jazz, Semarang Jazz Community, Malang Jazz Forum (MJF), Purwokerto Jazz Community, Kalimantan Jazz Lovers, dan Makasar Jazz Society.[13]




[1]Triyono Bramantyo, Disseminasi Musik Barat di Timur, (Yogyakarta:  Yayasan Untuk Indonesia, 2004), 65.
[3]Yapi Tambayong, 123 Ayat Tentang Seni (Bandung: Nuansa Cendekia, 2012), 99.
[4]Wawancara dengan Tomi Sumirah, pada tanggal 1 Juni 2014.
[6]Diunduh dari laman http://www.javanologi.info/main/index.php?page=artikel&id=50, diakses pada tanggal 2 Mei 2014.
[7]Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 140.
[8]Danny Sakrie, Musisiku (Jakarta: Republika, 2007), 34.
[10]Sakrie, 35-36.
[11]Oki Rahadianto Sutopo, Transformasi Jazz Yogyakarta: Dari Hibriditas Menjadi Komoditas, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 17, No. 1, Januari 2012: 71.
[12]Liz Wiwiek W., Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 7 (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), 398-399.
[13]Diunduh dari laman http://www.wartajazz.com/, diakses pada tanggal 1 Juni 2014.

Sejarah Musik Jazz Secara Global

Sejarah Musik Jazz Secara Global

Musik jazz yang dulunya diciptakan oleh para budak Afro-Amerika kini mampu menjadi fenomena budaya terbesar karena mampu diterima dan menyebar luas ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran musik jazz mengalami proses yang panjang diikuti dengan perubahan kata “jazz” itu sendiri. Kata “jazz” menurut Henry Martin dan Keith Waters dalam buku Jazz: The First 100 Years, menyatakan bahwa:
Some have pointed to a French origin from the verb jaser, which means to chatter or gossip; other have said that the word is a synonym for sexsual intercourse. Variously spelled Jas, Jass, Jaz, Jasz, and Jascz. The word is African in origin….[1]

Kata Jaser berasal dari Perancis yang berarti gosip, obrolan, dan hubungan seksual. Awalnya jazz berkonotasi negatif yaitu berasal dari sebuah istilah vulgar yang digunakan untuk aksi seksual.[2] Penggunaan kata “jazz” dari Afrika terus berubah, seperti: Jas, Jass, Jaz, Jasz, and Jascz. Istilah “Jazz” baru menjadi populer sejak munculnya rekaman dari Original Dixieland Jazz Band pada tahun 1917.[3]
Karakteristik musik jazz itu sendiri adalah memiliki bagian improvisasi, swinging, dan dipengaruhi oleh blue tonality.[4] Improvisasi adalah seni mengkomposisi saat bermain, tanpa notasi, berkreativitas secara musikal, dan spontan.[5] Swinging merupakan ritmis yang mengayun, secara musikal dapat terlihat pada ketuknya menjadi triplet atau triol. Bluetonality atau blue note adalah nada yang digunakan sebagai warna melodi di luar dari not utamanya (solmisasi).[6]
Sejarah perkembangan musik jazz dimulai dari Blues. Pada tanggal 9 April 1865, sistem perbudakan dihapus, mereka menari dan bernyanyi sepanjang jalan di New Orleans. Gaya nyanyian mereka kemudian disebut sebagai gaya New Orleans atau Blues. Blues berasal dari kata blue yang artinya sedih, berdasarkan momen historisnya dapat dikatakan bahwa jazz adalah manifestasi dari tangis kesedihan kaum negro yang mendambakan pembebasan dirinya dari perbudakan.[7] Musik Blues semakin berkembang menjadi Ragtime, Dixieland, Boogie Woogie, Swing, Bebop, Progressive Jazz, Modern Jazz, Cool Jazz, Soul, Funk, dan Free Jazz.[8]
Para musisi mulai mengembangkan musik Blues menjadi Ragtime sekitar tahun 1897. Genre Ragtime berupa permainan piano tunggal yang dimainkan di bar dan cafe. Nama ragging atau ragged time terbentuk dari kepiawaian pianis, dan pada akhir abad ke-19 dikenal sebagai Ragtime. Missisippi Rag merupakan karya pertama di era Ragtime yang dipublikasikan oleh komponis bernama William Krell,[9] kemudian Jelly Roll Morton merupakan pianis sekaligus komposer yang mengawali improvisasi dalam permainan Ragtime.[10] Raja Ragtime adalah Scott Joplin dengan karyanya yang terkenal seperti Maple Leaf Rag dan The Entertainer.[11]
Ragtime berkembang menjadi Dixieland di mana improvisasi dilakukan secara bersama-sama oleh para soloist dari awal sampai akhir lagu. Pada era Dixieland, industri rekaman dalam bentuk piringan hitam sudah ada di Amerika. Original Dixieland Jazz Band merupakan band jazz pertama yang merekam hasil karya mereka. Dalam buku Encyclopedia of Recorded Sound, menyatakan:
This was the style represented on the first true jazz recordings to be released, by the Original Dixieland Jazz Band (ODJB), “Livery Stable Blues” (recorded 26 Feb 1917 and released 7 Mar 1917)…. Although early jazz was developed primarily by African-American musicians, this “Original” group was white….[12]

Sistem perbudakan telah dihapus tetapi diskriminasi terhadap orang Afro-Amerika pada saat itu masih kuat, sehingga akses untuk berkarya masih kurang baik. Hal ini menyebabkan Original Dixieland Jazz Band yang seluruh personelnya kaum kulit putih, mendapat akses mudah sehingga menjadi band jazz pertama yang merekam hasil karya musiknya.
Pada tahun 1917-an semua tempat hiburan seperti café dan bar ditutup karena banyak terjadi tindakan kriminal. Para musisi jazz mulai meninggalkan daerah New Orleans membawa musik jazz menelusuri sungai Mississippi, ke arah utara hingga sampai di Detroit. Di tahun 1920-an musik jazz telah berkembang di New York, Chicago, Memphis dan kota-kota besar di Amerika Serikat hingga akhirnya meluas ke seluruh dunia seperti saat ini.[13]
Di kota Chicago, musisi dari New Orleans dan Chicago berkolaborasi membentuk genre jazz yang bernama Boogie Woogie. Menurut David P. Brown dalam bukunya berjudul Jazz, Improvisation, and Architecture: Noise Order, mengatakan:
In the 1920s, Meade "Lux" Lewis and other Chicago pianist developed a twelve bar blues form that became known as Boogie Woogie….[14]

Pernyataan di atas dapat terlihat bahwa praktik tidak bekerja dalam ruangan yang kosong, Meade Lux Lewis dengan beberapa pianis (memiliki habitus dan modal) berada di Chicago (ranah) menghasilkan suatu genre jazz yang baru (praktik) yaitu Boogie Woogie. Boogie Woogie terus berkembang menjadi musik Pop atau Rock.[15]
Genre Dixieland berkembang menjadi genre Swing pada awal dekade 1930-an hingga pertengahan dekade 1940-an. Musik Swing melanda hampir ke berbagai negara dikarenakan pada era itu telah berkembang banyak perusahaan rekam (menggunakan piringan hitam). Ganre Swing menjadi budaya yang populer di Amerika dan menjadi musik hiburan.[16] Masa keemasan Swing ialah ketika dimainkan dengan format Big Band. Pada awal tahun 1930-an dan 1940-an, Swing dinobatkan sebagai musik pop Amerika.[17]
Suasana Perang Dunia II membuat para musisi menjadi terbatasi karena sulitnya ruang bermusik. Rasa bosan terhadap Swing membuat para musisi jazz melakukan suatu perubahan. Setelah Perang Dunia II berakhir, jazz mengalami perkembangan dan mengalami evolusi yang disebut Bebop.[18] Bebop memberikan kebebasan para musisi untuk bermusik, terlihat dari tempo Bebop yang cepat dan kebebasan untuk berimprovisasi. Pada dekade 1940-an, terjadi pencetusan bentuk-bentuk musik baru, misalnya Jump Band yang selanjutnya bercabang ke aliran musik RnB, serta mengilhami bentuk musik Rock n Roll.
Genre Bebop mulai berkembang, dan para musisi jazz tidak lagi menggunakan ketentuan atau batasan yang berlaku di musik Swing, sehingga muncul genre Progressive Jazz dan berkembang lagi menjadi Modern Jazz. Pada tahun 1949-an musik Rock mulai berkembang sehingga Bebop mulai meredup kemudian muncul genre Cool Jazz. Di era Modern Jazz, muncul aliran musik baru yang disebut Soul dan Funk. Aliran musik Soul muncul dari gereja gospel dengan pengaruh aliran musik Blues sedangkan musik Funk cenderung bersifat komersial.[19]
Pada tahun 1960-an muncul Free Jazz, yakni suatu style yang tidak mendasarkan diri pada bentuk dan pola chord tetap. Pada era ini muncul juga Jazz Rock atau Fusion yang menggabungkan improvisasi para musisi jazz dengan ritme dan timbre Rock. Musik jazz berkembang hampir tanpa batas dan bisa dikolaborasikan dengan berbagai style musik. Saat ini muncul tendensi yang masih taraf embrio, yaitu World Jazz yang mengkombinasikan jazz dengan khazanah musik lokal atau tradisional.[20]




[1]Henry Martin dan Keith Waters, Jazz: The First 100 Years, 3rd Edition (Boston: Clark Baxter, 2012), 59.
[2]Diunduh dari laman http://dwipras-blogger.blogspot.com/2011_08_01_archive.html, diakese pada tanggal 18 Oktober 2013.
[3]Bambang Sugiharto (ed), Untuk Apa Seni? (Bandung: Matahari, 2013), 299.
[4]John F. Szwed, Memahami dan Menikmati Musik Jazz, terj., Tubagus Heckman (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), 15.
[5]Szwed, 34.
[6]Diunduh dari laman http://refa-tulisan.blogspot.com/2011/06/blue-note.html, diakses pada tanggal 15 Juli 2014.
[7]Samboedi, Jazz: Sejarah dan Tokoh-tokohnya (Semarang: Dahara Prize, 1989), 23-24.
[8]_______, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtaiar Baru – Van Hoeve, 1982), 1564. Lihat juga: Diunduh dari laman http://www.funart.de/Data/jazzhis.html, diakses pada tanggal 11 November 2013.
[9]Ted Gioia, The History of Jazz (New York: Oxford University Press, 2004), 21.
[10]Joachim E. Berendt, The Jazz Book From Ragtime to Fusion and Beyond (New York: Lawrence Hill Book, 1992), 7.
[11]Sugiharto, 300.
[12]Frank Hoffmann (ed), Encyclopedia of Recorded Sound: Second Edition Volume 1 A-L (New York: Routledge, 2005), 1070.
[13]Diunduh dari laman http://ardianumihidayah.blogspot.com/2011/07/sejarah-musik-jazz-di-dunia-by-adnan.html, diakses pada tanggal 30 November 2012.
[14]David P. Brown, Jazz, Improvisation, Architecture: Nois Order (London: University of Minnesota Press, 2006), 1-3.
[15]Samboedi, 18-19.
[16]Dieter Mack, Sejarah Musik: Jilid 4 (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2009), 383.
[17]Szwed, 99-102.
[18]Paul Lopez, The Raise of a Jazz Art World (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 146.
[19]Samboedi, 21-22.
[20]Sugiharto, 303.